23 April, 2009

Properti Indonesia, Hati-hatilah Berekspansi
Sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0401/15/Properti/794915.htm

PULUHAN megaproyek properti tengah dibangun di Indonesia, terutama di DKI Jakarta. Investasi yang dikucurkan puluhan triliun rupiah. Tenaga kerja yang terlibat mencapai jutaan orang. Apakah kegairahan ini menjadi simbol bahwa bisnis properti Indonesia sudah kembali ke masa keemasannya, sebagaimana beberapa tahun sebelum krisis ekonomi?

Dalam pandangan para ahli ekonomi dan pelaku ekonomi, bisnis properti di mana pun di dunia ini selalu menjadi parameter bagi bangkit dan jatuhnya perekonomian sebuah negara. Ia yang paling cepat memberi sinyal jatuh atau bangkitnya perekonomian. Maka, jika properti di Indonesia, terutama sekali lagi ditunjukkan di Jakarta, bolehlah menjadi sinyal membaiknya kesehatan ekonomi nasional.

Di lapangan, kegairahan bisnis properti juga ditandai sikap perbankan yang lebih lunak terhadap bisnis properti. Kredit yang dikucurkan untuk perumahan, apartemen, dan proyek properti itu sendiri, sudah tidak terlampau besar persentasenya.

Menurut catatan, suku bunga properti yang pernah terbang ke angka 65 persen per tahun, terjun ke 30-an persen, 20-an persen, kemudian jauh menurun hingga 13 sampai 17 persen. Besaran persentase ini, memang masih lebih besar daripada sejumlah negara maju Asia, yang selalu di bawah tujuh persen.

Namun, dengan besaran persentase tersebut, proyek properti sudah bisa bergulir dengan baik dan masyarakat dapat menikmati kredit lebih ringan. Akan jauh lebih ideal manakala suku bunga kredit properti sama dengan kredit mobil, yaitu tujuh persen.


SISI lain yang menarik dari bisnis properti ini ialah gairah pembeli yang amat besar. Lihatlah, apartemen-apartemen dengan kisaran harga Rp 3 miliar sampai Rp 23 miliar per unit disambar pembeli, seperti membeli pisang goreng. Sejumlah pengembang apartemen menikmati bagusnya suasana pasar properti ini, di antaranya Da Vinci, Kempinski, Four Season, Dharmawangsa, Pakubuwono, dan Kelapa Gading.


Pertanyaan yang menggelitik adalah apa yang membuat pasar ini demikian bergairah? Apakah demikian banyak warga mempunyai "uang tanpa seri" sehingga menyambar apa saja?


Anisa Himawan, Chief Executive Officer The Pakubuwono Residence menyebutkan beberapa data menarik. Pertama, setelah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) akan bubar, para pemilik uang agak bingung hendak membelanjakan uang mereka ke mana. Hendak main di capital market? Bisa saja, tetapi tidak semua pemilik uang suka main di capital market, demikian pula dengan reksa dana. Tidak semua orang tertarik ke reksa dana.

Atau main valuta asing (valas)? Rasanya kurang menarik karena kinerja dollar AS sudah seperti ini. Kalau terhadap rupiah saja, dollar AS terus melunglai, apakah masih ada alasan masuk ke pentas valas? Ada semacam ketidakpastian dalam urusan valas ini sehingga tidak banyak yang tertarik bermain di pentas itu. Bagaimana dengan euro? Mungkin ada yang ke sana, tetapi mungkin tidak banyak mengingat ketatnya pengawasan bank Indonesia atas lalu lintas euro.


Aspek kedua, ada yang berpendapat, mendepositokan uang, terutama ke bank yang aman, adalah pilihan ideal. Tetapi dengan suku bunga deposito seperti sekarang, ke mana uang itu bisa disimpan supaya beranak pinak? Deposito dollar AS jauh dari menarik sebab bunganya bahkan tidak mencapai satu persen per tahun. Deposito rupiah, hanya tujuh persen. Apanya yang menarik?

"Beberapa latar belakang ini menyebabkan banyak pemilik uang yang akhirnya memutuskan membelanjakan uang mereka dengan membeli rumah, apartemen, atau gedung-gedung perkantoran. Bagi mereka membeli properti, lebih rasional daripada bermain di sekmen lain. Ini menarik diamati, karena sejatuh-jatuhnya bisnis properti, harga rumah tidak pernah hancur banget," kata Anisa.

Anisa menyatakan, tidak heran kalau warga Indonesia mudah membeli aset-aset properti dengan cara gampang. Ada yang bisa sekali membeli belasan apartemen, nilainya puluhan miliar rupiah. Dan menariknya, sebut Anisa, pembelian itu, tanpa menggunakan dana perbankan. Mereka membeli properti dari kocek mereka sendiri.


Salah satu proyek Anisa Himawan, The Pakubuwono Residence, laku seperti kacang goreng. Padahal, harga per unit apartemen papan atas ini lebih dari dua miliar rupiah.


Parameter lain dari kuatnya para pemilik uang di Indonesia membelanjakan uang adalah betapa kuatnya mereka "menyambar" proyek-proyek yang berpotensi besar. Sebutlah misalnya proyek Da Vinci, yang meski harganya minimal Rp 22 miliar per unit, tandas dalam waktu singkat.

Proyek bangunan tinggi lainnya, misalnya menara kembar The Peak (masing-masing 55 lantai), juga laku seperti pisang goreng. The Peak sudah laku 65 persen, tatkala fondasi proyek itu bahkan belum dikerjakan sama sekali.

Dalam pengamatan Kompas, proyek lain, sebutlah misalnya pembangunan kembali Pasar Tanah Abang, yang pernah terbakar, disambut antusias pembeli. Proyek itu mendapat sambutan luas publik karena menawarkan konsep yang menarik.

Umumnya, pembeli rumah, apartemen, dan bahkan pasar dengan uang tunai.
Tidak percaya? Data dari Bank Permata, bank swasta nasional yang menduduki urutan ketiga untuk pengucuran kredit properti, setelah Bank Internasional Indonesia dan Bank Danamon, bisa memberi gambaran cukup kuat. Bank Permata, menurut GM Assets Product Rosalia Abadi, kini mengucurkan kredit perumahan sebesar Rp 700 miliar. Dari jumlah itu, Rp 600 miliar diperoleh selama tahun 2002-2003. Kucuran kredit tahun 2003, malah mencatat angka fantastis, yakni sebesar Rp 450 miliar.

Dari angka Rp 450 miliar tersebut, hanya delapan persen yang mengambil kredit pembelian apartemen. Sisanya kredit rumah (landed house). Umumnya, kredit landed house untuk rumah-rumah di bawah Rp 200 juta.

"Tahun 2004, sejalan dengan makin membaiknya perekonomian nasional, Bank Permata memprediksi mengucurkan kredit sebesar Rp 750 miliar," ujar Rosalia.
Ia optimistis, dengan suku bunga 14 persen, pelayanan prima, cukup banyak yang berminat masuk meraih kredit dari Bank Permata.

DARI mana orang-orang Indonesia ini memperoleh uang demikian besar untuk membeli apartemen dan rumah mahal secara tunai? Inilah pertanyaan yang kerap menjadi bahan pembicaraan publik.


Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menyatakan, jika warga Indonesia mampu membeli apartemen secara tunai, tidak perlu diherankan. Mengapa? "Beli rumah, untuk masa ekonomi booming seperti sekarang, merupakan investasi riil, daripada mesti membeli mata uang asing, seperti dollar AS. Atau, daripada membeli sesuatu yang tidak jelas tujuannya, lebih menarik membeli rumah yang sangat jelas wujudnya. Ada juga sih yang beli rumah atau apartemen sekadar spekulasi, tetapi apa pun juga, future properti tetap tinggi," katanya.


Sofjan menambahkan, selama enam tahun, Indonesia, termasuk Jakarta, tidak sibuk dengan pembangunan fisik. Sekarang, ketika pembangunan gencar lagi, tentu semua orang yang berduit akan menyambar tawaran yang ada.


Ia mengungkapkan, tidak perlu terlalu heran kalau banyak yang mampu membeli apartemen dan rumah mahal. Dari 220 juta penduduk Indonesia, sekurang-kurangnya terdapat lima persen (11 juta jiwa) yang kaya raya. Sebelas juta jiwa sama dengan tiga kali penduduk Singapura. Kalau setengah juta dari 11 juta ini membeli apartemen dan rumah mahal, sudah sangat terasa getarannya.

Namun, Sofjan kemudian menyebutkan, tentu saja dari sekian banyak orang kaya yang membeli apartemen dan rumah mahal, diduga ada yang melakukan praktik cuci uang. Pasti ada di antaranya yang korup, perampok uang rakyat, atau mungkin juga bandar judi gelap. Atau bisa jadi ada yang untung besar dari megabisnisnya, tetapi pelit bayar pajak.

"Kita tak tahu persis siapa mereka, tetapi saya yakin, pasti ada di antara mereka yang beli apartemen atau rumah itu dari uang haram," kata Sofjan.

Terlepas dari semua persoalan tersebut, ada baiknya semua pemain di bisnis properti berhati-hati menjalankan bisnisnya. Tidak ada salahnya waspada agar tidak terlampau terbenam dalam ekspansi dan mengabaikan bahaya gagalnya bisnis.

Tidak ada komentar: