17 Maret, 2009

Menimbang Formalisasi Islam di Indonesia

Oleh. Mustofa Faqih. *

Sungguh, negara Indonesia yang terkenal multi etnis, multi kultur, bahkan multi agama dan beragram multi lainnya, tersentak harus meninggalkan kemultiannya dan keragamannya, demi mematuhi ajaran yang satu, yaitu Islam. Upaya sebagian umat Islam yang ingin menjadikan aturan Islam sebagai aturan satu-satunya di Indonesia terasa tak bisa dibendung. Tak ayal, keragaman Indonesia -sedikit demi sedikit- menjadi terkikis dan pada akhirnya akan hilang gara-gara agama Islam.

Tentu saja, apa yang dicita-citakan the founding fathers kita, hambar bahkan hilang begitu saja tanpa ada satupun warga Indonesia yang memperhatikannya. Islam akan menjadi agama pusat, agama tertinggi agama yang yu'la wala yu'la 'alaihi. Tentunya ia akan menentukan segala aturan di bumi Indonesia tanpa memperhitung aturan agama lainnya, tanpa memperhitungkan keragaman lainnya. Begitukah?, belum tentu.

Formalisasi Islam
Keinginan kuat untuk mengformalkan Islam itu, tiada lain adalah adanya gelombang demokratisasi yang memberikan hak berpendapat. Hal itu sebagaimana dikatakan Robert W. Hefner (2001), seorang pengamat demokrasi di Indonesia, bahwa proses reformasi di Indonesia tak bisa dipungkiri, telah mendorong demokratisasi dalam segala bidang. Tak terkecuali demokratisasi berpendapat untuk berkeinginan mengformalkan aturan Islam.

Setiap kelompok bahkan semua orang diberikan kebebasan untuk menyampaikan pendapat secara luas termasuk menyampaikan uneg-uneg untuk menerapkan formalisasi Islam [baca; Syari’ah Islam] di Indonesia. Kondisi demikian, sangat berbeda dengan zaman sebelum reformasi digelindingkan. Di era pra-reformasi, sebagaimana bisa dilihat, posisi politik umat Islam terasa termarginalisasi oleh rezim Orde Baru sekaligus menjadi –meminjam ungkapan Sinansari Ecip (1998)- korban politik.

Bahkan dalam banyak kasus, umat Islam terlalu sering dijadikan tersangka politik. Maka wajar ketika aroma demokratisasi digelindingkan, banyak di antara umat Islam yang merasa bangga dan mendukung hal itu, tak terkecuali bangga untuk nantinya menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam.


Di antara mereka yang bangga atas hadirnya proses demokratisasi, adalah mereka yang dari dulu mengupayakan untuk memasukkan ajaran syari’ah Islam di Indonesia. Mereka berangan-angan mengajak dan memberlakukan masyarakat Indonesia untuk menerapkan syari’ah Islam, mengformalkan Islam. Mereka berpendapat bahwa syariat Islam memiliki nilai tinggi, yu'la wala yu'la alaihi, yang sudah sangat cukup untuk dijadikan acuan dalam mengembangkan gagasan perubahan di Indonesia.

Karena itu, beberapa tokoh elitnya pun mendesak pemerintah pusat untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta ke dalam Undang-Undang [UUD]. Apa yang mereka gagaskan tersebut, pada gilirannya menjadikan mereka berpikir keras untuk mengaplikasikan syariah Islam di Indonesia. Tentunya di seluruh masyarakat Indonesia, menurut mereka, diwajibkan menerapkan perda syari’ah secara kaffah.

Karena bumi Indonesia, menurut mereka, sudah terlalu rusak bahkan telah meninggalkan aturan dan akidah agama Islam yang sejatinya wajib diterapkan. Disebabkan mayoritas masyarakat Indonesia yang memeluk Islam itulah, perda syariah Islam dan upaya mengformalisasikan Islam di berbagai daerah kawasan Indonesia, terkesan menjadi wajib untuk diterapkan.

Menimbang Ulang Formalisasi

Al-Qur'an pada dasarnya –bisa dibaca- tidak pernah mengharuskan formalisasi Islam yang kemudian mengharuskan adanya negara Islam berdiri di sebuah daerah. Bahkan Rasulullah saw. pun sama sekali tidak pernah mewariskan suatu hadis yang bisa dipegangi secara akurat tentang wajibnya formalisasi Islam atau bahkan negara Islam.

Rasulullah saw dalam kapasitasnya sebagai pemimpin agama sekaligus kepala negara di Madinah itu pun juga tidak pernah menampakkannya sebagai suatu negara yang mengformalisasikan Islam. Itu karena di bawah plat form Piagam Madinah, corak pluralisme dan inklusif negara tersebut sangat kental ketimbang eksklusivisme Islam. Lalu mengapa kita terus menggebu-gebu dan berdemo ria untuk mengformalkan Islam?.

Justeru dalam banyak hal, pola ketatanegaraan Nabi saw itu banyak menyerap nilai-nilai demokratis. Fenomena ini nampak dari sikap adil, musyawarah, penegakan hukum tanpa bulu, kebebasan berekspresi serta perlindungan hak-hak warga yang diteledankan Rasul. Nilai subtantif keislaman yang seperti itulah yang diinginkan Rasul.

Karena itulah, ada dua hal penting yang sangat mendasar untuk dipertimbangkan ketika hendak mengformalkan Islam. Pertama, tidak ada dalil, hujjah, atau statemen yang cukup kuat untuk mengformalkan Islam di bumi Tuhan, khususnya di Indonesia, lebih-lebih di dunia. Baik itu hujjah yang syar'i maupun yang non syar'i. baik itu dalil yang abstrak maupun yang konkrit.

Kedua, formalisasi Islam pada dasarnya bukanlah membikin lingkungan Indonesia seperti lingkungan Arab, semua serba diarabkan. Akan tetapi, mengformalisasikan Islam pada dasarnya adalah bagaimana menjadikan nilai-nilai Islam itu sendiri mampu terlaksana dan teraplikasikan secara utuh di lingkungan masyarakat setempat. "Bukan kulitnya yang penting, tapi isinya".

Ketiga, Indonesia bukanlah Negara yang siap untuk diterapkan aturan Islam secara formal, ketat, rigid dan kaku. Namun, Indonesia pada hakikatnya merupakan Negara yang siap bahkan menjadi lebih mantap ketika Islam diterapkan secara pelan dan pasti. Ada gradualisasi, ada tahapan demi tahapan secara subtantif bukan secara formal.
Itu tak lain dan tak bukan, karena Indonesia merupakan Negara yang penuh ragam budaya, ragam kultur, agama dan etnis. Walhasil, dengan lebih sopan dan kulo nuwun terlebih dahulu (baca; permisi) atas keragaman yang dimiliki negara Indonesia, paling tidak mampu menjadikan pertimbangan atas upaya mengformalkan Islam di Indonesia saat ini. Wallahua'lam.

* Penulis adalah peneliti lepas & pengamat problem sosial-agama dan budaya. Penulis bisa disapa di http://kangmus.tripod.com/.

Tidak ada komentar: