
Di lokal masyarakat Arab, saat ini masih terkesan banyaknya ketimpangan sosial pada struktur wilayah eksistensi laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan sangat terkungkung oleh chardewari (empat dinding) rumah tangga. Kondisi sistem masyarakat saat itu sungguh terlihat bernuansa patriarkhi dan male domination. Ada setting sosial historis yang terekem dalam al-Qur’an. Maka sangat wajar jika nuansa kultur Arab, banyak terlihat pada beberapa ayat al-Qur’an meskipun al-Qur’an sendiri berangan-angan untuk melepaskan budaya patriarkhi yang ada di masyarakat kultur Arab.
Logika berfikir bahwa al-Qur’an sarat dengan sistem logosentris budaya, harus dimaklumi karena teks ayat al-Qur’an merupakan teks yang meminjam sebuah bahasa, yaitu bahasa Arab. Sistem bahasa Arab -di situ- dipinjam sebagai perantara untuk mengantarkan maksud dan keinginan Tuhan lewat diri Muhammad sebagai rasul-Nya. Jika demikian, maka wajar jika al-Qur’an -pada satu sisi- bercirikan kultur peradaban Arab, salah satunya kultur patriarkhi atau male domination. Budaya patriarkhi dan male domination, terlihat kental di dalam al-Qur’an.
Kondisi yang demikian, menjadi wajar pula jika hukum-hukum yang ada di masyarakat saat ini terlihat bias jender atau bernuansa patriarkhi (ada male domination di dalamnya). Kondisi demikian pada gilirannya mempengaruhi hukum Islam sebagai produk pemikiran ulama’ yang seakan juga terlihat bias jender. Terbukti dalam kutubul fiqh atau deretan tafsir al-Qur’an yang seakan juga bias jender atau bernuansa patriarkhi. Maka menjadi lumrah jika pada gilirannya banyak beberapa hukum Islam yang terasa menindas posisi perempuan. Kaum hawa (perempuan) menjadi termarginalkan, terpinggirkan dan selalu terlihat ketidakadilan terhadapnya.
Fenomena itu menjadi susah atu bahkan rumit untuk dicerna ketika melihat agama Islam satu sisi selain menghendaki kesamaan antara perempuan dan laki-laki (egaliter) dan kondisi masyarakat yang saling menghormati antara laki-laki dan perempuan (humanisme), namun di sisi lain, Islam dengan hukum fikihnya seakan mengenyampingkan perempuan sehingga telihat “nuansa” ketidakadilan. Realita itu terasa dalam isi hukum Islam seperti; persoalan warisan, kondisi sholat, eksistensi wanita ketika sedang haid (menstrual taboo), akad pernikahan, dan lain sebagainya yang terlihat wanita menjadi sosok yang kedua setelah laki-laki dan karena itu wanita seakan disubordinat atau termarginalkan.
Melihat yang demikian, maka penting jika cara pandang melihat al-Qur’an –sebagai sumber hukum yang dijadikan acuan fiqih (produk pemikiran ulama’)- direnovasi, dibaca ulang, diinterpretasikan untuk menemukan hukum yang lebih mencerminkan keadilan, kesetaraan (egalitas), dan kemanusiaan (humanis). Islam hadir bukan untuk mensubordinat, memarginalkan, atau bahkan mengkebiri kaum wanita dengan beberapa hukum yang dipunyainya, akan tetapi untuk mengangkat derajat wanita dan menjadikannya setara dengan laki-laki. Hal itu dijelaskan dengan tegas dalam al-Qur’an bahwa antara kaum wanita dan laki-laki setara dihadapan Allah. Hanya moral (akhlak) yang membedakan di antara mereka.
Pada satu sisi al-Qur’an seakan memalingkan kaum wanita, mengkebiri, bahkan memarginalkan sehingga akhirnya terbentuk fikih yang terlihat patriarkhi, namun di sisi lain al-Qur’an sangat berangan-angan akan adanya kesetaraan dan kemanusiaan. Tentu persoalan itu menjadi penting jika ayat-ayat hukum yang ada di kitab suci al-Qur’an dipahami ulang, ditafsirkan ulang (reinterpretasi), untuk menampilkan wajah hukum Islam yang lebih egalitas, egaliterian, dan bernuansa humanis sebagaimana inti ajaran Islam itu sendiri.
* Penulis adalah peneliti lepas & pengamat problem sosial-agama dan budaya. Penulis bisa disapa di http://kangmus.tripod.com/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar