20 Januari, 2010

Menjalin Kebudayaan Dunia dalam Potret Perkawinan Anak Bangsa

(Tulisan ini merupakan Book Review yang pernah dimuat di Jurnal "ANTAR BUDAYA; Menemukan Diri yang Inklusif dan Transformatif", Edisi I, Tahun I, Juli 2009, pada halaman 114-117. Jurnal yang dikelola PSAP [Pusat Studi Asia Pasifik] UGM ini, bekerjasama dengan Ford Foundation)

Oleh. Mustofa Faqih. *

Anggapan bahwa pernikahan beda bangsa merupakan tindakan kontroversi, pada dasa warsa 90-an sangat diyakini oleh mayoritas masyarakat Asia termasuk Indonesia. Stateman itupun diperkuat oleh pernyataan pengamat budaya seperti halnya Rudyard Kipling, bahwa orang Timur dan Barat seharusnya tidak usah bertemu (hlm: 1). Itu karena perkawinan orang Timur dan Barat, diyakini dapat menimbulkan ketidakbahagia-an bagi kedua pasangan.

Namun dengan hadirnya buku Perkawinan Antarbangsa: Love and Shock!, karya Hartati Nurwijaya, setidaknya telah mematahkan anggapan di atas. Bahkan telah membuang jauh-jauh mitos yang tidak logik dengan tanpa didasari fakta empirik. Lalu, pertanyaan adalah bagaimana penulis buku ini mampu mematahkan logika yang tanpa dasar di atas?.

Menurut Hartati, ritual perkawinan yang selama ini dilihat secara empirik sebagai bentuk bertemunya dua pasangan, merupakan penglihatan yang belum usai. Perkawinan pada dasarnya tidak sekedar pertemuan antar manusia, antar keluarga atau famili. Akan tetapi juga merupakan bentuk pertemuan antara budaya, bahasa, agama dan etnik yang berbeda (hlm: 5). Pernikahan antar anak bangsa pada dasarnya memiliki pesan penting yakni adanya pertemuan nilai-nilai antar budaya (Inter-Cultural) yang sangat terkait dengan fungsi pernikahan antar anak bangsa dalam upayanya "menyatukan" lapisan masyarakat di sekelilingnya.

Dengan modal pertemuan antar kedua anak bangsa tersebut, setidaknya akan menumbuhkan pemahaman antar budaya pada pasangan suami-istri, bahkan pada aspek sosial dan seni yang masing-masing memiliki perbedaan. Selain itu, perpaduan dari berbagai budaya tersebut, pada gilirannya mampu malahirkan bentuk pola budaya yang khas, unik, dan estetik.

Meskipun demikian, perkawinan antar bangsa sering memunculkan fobia dikarenakan adanya perbedaan bahasa pada masing-masing individu. Hal ini sesuai dengan hipotesis Fishman, bahwa prilaku budaya dikondisikan oleh bahasa, sedangkan bahasa memiliki struktur. Karena itu, hubungan antara struktur bahasa dengan struktur perilaku pemakai bahasa, sangatlah mempunyai interkoneksi yang kuat (Howell, 1985:274). Bahasa, jika dipahami lebih lanjut, menyerupai sistem matematika yang merekam pengalaman secara hakiki pada tahap awalnya, tetapi seirama dengan perkembangan waktu, menjadi sistem konseptual yang terjabar rinci dan menentukan semua pengalaman (Cahyono, 1995:420).

Bahasa merupakan sistem semiotik berupa simbol yang berfungsi untuk komunikasi. Begitu pula dengan budaya sebagai simbol yang membentuk identitasi individual maupun kolektif, juga berfungsi untuk komunikasi. Karena itulah, bertemunya pasangan anak bangsa tentunya tidak sekedar membawa nama keluarga besar, tapi juga membawa nama negara dan budaya sebagai simbol identitas. Semua keluarga baik dari tokoh kecil sampai tokoh besar, pernah mengalami adanya problem dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Berbagai problem seperti menghadapi UU Perkawinan yang berbeda, problem imigrasi, perjanjian pra-nikah, kekerasan dalam rumah tangga dan banyak problem lainnya, merupakan problem biasa dalam sebuah kehidupan (hlm: 19-22).

Pernikahan antar anak bangsa yang tidak saja memersatukan dua keluarga, akan tetapi mampu mempererat hubungan antar bangsa (hlm: 5). Meskipun di dalam pelaksanaan perkawinan antar anak bangsa terkadang mengalami keterkejutan budaya (cultural shock), seperti perasaan selalu tegang, perasaan kehilangan dan terasing, penolakan, kebingungan, terkejut dan cemas bahkan mual dan pemarah serta perasaan tak dapat melakukan sesuatu, merupakan kumpulan cultural shock yang mudah diperoleh oleh mereka yang nikah dengan orang luar Indonesia (hlm: 29-31). Namun bagi penulis buku ini, sebagai pelaku perkawinan antar bangsa, hal itu merupakan fenomena lumrah sebagai bentuk reaksi antisipasi atas adanya proses adaptasi yang sedang belangsung.

Persoalan bagaimana memecahkan problem yang diakibatkan dari bertemunya dua insan dengan latarbelakang negara yang berbeda, dua bahasa dan dua agama yang berbeda, dikaji secara apik dan menarik di dalam buku ini. Pengalaman empirik yang dialami beberapa perempuan yang diceritakan dalam buku ini, dapat dijadikan pelajaran penting bagi mereka yang berniat melaksanakan pernikahan antarbangsa.

Perbedaan kultural antara pasangan atau antar kelompok, tidaklah disebabkan oleh perbedaan psiko-biologis, melainkan perbedaan pengalaman sosial budaya. Budaya merupakan sarana instrumental yang menempatkan manusia pada posisi istimewa agar mampu memecahkan masalah yang dihadapi, bahkan budaya juga merupakan sebuah sistem dari obyek, aktivitas, dan sikap yang bertujuan untuk mencapai sasaran tertentu secara terorganisir dalam suatu institusi seperti keluarga, klan, politik, pendidikan, dan sebagainya. Di dalam perkawinan antar bangsa ini pada dasarnya memiliki banyak perbedaan, tidak hanya sekedar bahasa, namun juga perbedaan cara pandang, kebiasaan, dan budaya. Apa yang disebut sebagai culture shock (kejutan budaya) –pada dasarnya- merupakan proses adaptasi kehidupan di negara asing dengan lingkungan baru (hlm: 24-28).

Tentu saja di dalam buku ini tidak hanya menceritakan pengalaman pribadi saja, melainkan menceritakan kisah-kisah suka duka enam orang wanita dengan latar belakang pendidikan, pekerjaan dan karir yang berbeda-beda (hlm: 35-94). Kisah nyata yang dimulai dari suasana kehidupan di negara yang berbeda budaya, sikap resistensi para wanita Indonesia di negeri asal suami, dan perubahan peran dari wanita yang bekerja di kantoran menjadi ibu rumah tangga, merupakan kisah-kisah menarik yang dapat memberikan gambaran bagi orang yang berniat menikah dengan anak bangsa lain.

Bagaimana mengatasi kejutan budaya dan hal–hal baru yang ditemukan ketika pertama kali datang menetap di negara suami atau istri serta bertemu dengan orang tua dan keluarga suami, diulas secara mendalam dan sistemis. Sedangkan bagian terakhir, buku ini memberikan penjelasan atas informasi mengenai nilai-nilai etika dan budaya di Eropa seperti Yunani, Italia, Swiss, Belanda, Swedia dan Rusia (hlm: 105-159). Selain itu pula, dijelaskan beberapa miskonsepsi terhadap anggapan orang-orang yang menikah dengan orang asing, atau biasanya disebut dengan bule. Dengan penyadaran kuat bahwa perkawinan silang antar anak bangsa merupakan cermin dari pertemuan dua latar belakang kebudayaan berbeda, merupakan hal yang niscaya. Perkawinan ini merupakan bentuk upaya bagaimana mensikronkan pribadi, kepercayaan, kebudayaan, tingkah laku, watak dan sudut pandang yang berbeda, demi keseimbangan tatanan kosmik kehidupan dalam bangunan perkawinan.

Bukan persoalan mudah ketika berupaya menenangkan jiwa karena terperosok dalam "dunia yang berbeda", juga bukan persoalan gampang ketika berniat membuka hati galau karena bertemu dengan suasana asing yang jauh berbeda, namun hanya dengan jiwa teranglah mereka mampu mensikronkan dua hati yang berbeda kedalam satu garis sinar cahaya Tuhan. Mereka -sebagaimana yang telah hidup bersama memupuk bahtera kehidupan di Negara luar Indonesia- merupakan insan-insan yang minimal telah menjadi pengembang sayap perdamaian dunia.

Mereka yang akan hidup di luar negara yang berbeda, setidaknya akan dihimbau berjuang ekstra keras untuk menghilangkan sikap resistensi atas hal-hal yang berbeda. Dari mulai masalah iklim yang berbeda, pakaian, jenis makanan, bahasa sekolah, budaya, dan nilai-nilai kehidupan lain, menjadi sebuah hal penting secara bertahap untuk segera dihilangkan dari perasaan.

Segera setelah perasaan itu dapat dikendalikan, akan bertambah menarik karena mereka akan segera menikmati kehidupan baru, kebudayaan baru, tempat di mana mereka menetap dan membangun mahligai rumah tangga, sebagaimana diceritakan dalam buku ini seperti di Yunani, Italia, Swedia, Rusia, Belanda dan Swiss (35-94). Apa yang mereka kisahkan, pada dasarnya mencerminkan kesimpulan atas adanya kerukunan dan perdamaian dalam kebudayaan dunia dengan adanya pernikahan silang ini.

Karena itu, buku yang ditulis Hartati Nurwijaya ini, sangat penting untuk dibaca terutama bagi mereka yang menghadapi maupun tertarik pada persoalan-persoalan antarbudaya dan antarbangsa. Dengan demikian, kehadiran buku ini patut diapresiasi.

*. Penulis adalah alumni UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Tafsir-Hadis, Fak Ushuluddin.

Tidak ada komentar: