20 Maret, 2010

TASAWUF BERBASIS MURSYID PEREMPUAN
Oleh. Mustofa Faqih.*

TASAWUF, sebagaimana banyak peminat kajian ini mengungkapkan, sering diartikan sebagai pengembaraan pemikiran dan perasaan yang menurut tabiatnya sulit didefinisikan (Simuh, 1994: 70). Dia muncul dalam kaitan upaya akal manusia untuk memahami hakikat segala sesuatu, dan untuk menikmati pengalaman ma'rifat pada Allah. Meskipun demikian, semua sufi akan mengalami "pengalaman" (Departemen Agama RI: 1987) yang sama, walaupun sifat pengalaman itu berbeda-beda untuk menuju pengetahuan langsung dengan wujud Mutlak.

Dalam ungkapan definisi yang demikian itu, seorang sufi nantinya dituntut untuk melakukan beberapa tahapan demi tahapan yang terikat dalam sebuah ritual khusus (Van Martin Bruinessen, 1992: 96) dan dibimbing langsung oleh seorang guru yang disebut sebagai mursid. Hampir keseluruhan institusi tarekat memiliki apa yang disebut sebagai mursid.

Akan tetapi, yang menjadi persoalan dalam ritual setiap tarekat yang ada adalah, bahwa hampir mayoritas ritual tarekat menyitrakan Tuhan dalam bentuk atau citra laki-laki dan menganut pola kepemimpinan yang pada ujungnya mengesahkan superioritas laki-laki sebagai seorang mursid ketimbang perempuan.

Perempun dalam konteks yang demikian, senantiasa terkesan dipinggirkan, dimarginalisasikan, atau sengaja dinomorduakan dengan berbagai asumsi patriarkhis yang terbangun. Apakah benar hal itu merupakan bentuk dari kedangkalan pemahaman atas ajaran tarekat yang menafsirkan substansi nilainya sebatas teks-teks dan bukan konteks. Hal ini penting untuk segera dicermati.

Tarekat, sebagai jalan kesucian untuk membebaskan segala bentuk ketidakbenaran, tidaklah mengenal pembedaan atas jenis kelamin. Karena itu, kesalahan perspektif terhadap konsep di dalam ajaran tarekat dewasa ini telah sampai pada pembahasan perempuan, yang oleh sebagian kalangan masih dianggap tabu.

Dalam proses selanjutnya terjadi budaya ketidakadilan, karena masing-masing saling menguasai, mendominasi, mendeskriditkan, bahkan saling memusnahkan peran perempuan yang hal itu terlihat –kemungkinannya- pada jarangnya mursyid-mursyid perempuan di tingkatan jajaran elit tarekat sufistik. Karena fenomena yang demikian itulah, tulisan ini hadir di depan pembaca demi menghasilkan potret peradaban budaya tasawuf yang berkemanusiaan.


Perempuan Juga Bisa Menjadi Pemimpin Tasawuf
Tasawuf, sebagaimana dalam Islam dikenal, merupakan suatu tradisi religius yang telah lama berlangsung di tengah komunitas beragama bahkan ada yang mengkalim bahwa tasawuf telah berkembang pada zaman Rasulullah saw. Tasawwuf, sebagaimana dipahami, bertujuan untuk membersihkan jiwa dari sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat terpuji. Selain itu, ia juga bertujuan untuk mencetak manusia menjadi mahluk yang semakin baik diridhoi Allah. Lebih dari itu, ia juga bertujuan untuk mendapat ketenangan hati dengan cara musyahadah, ma’rifat billah dan selamat di dunia sampai akhirat.

Asal kata tasawwuf ini, banyak kalangan yang berbeda pendapat. Ada yang bilang berasal dari kata sufah, yang artinya: "nama surat ijazah orang yang naik haji", bisa juga dari kata kerja s}afa yang artinya "bersih" dan "suci". Ada juga yang menanggap dari kata suffah, yaitu ruangan dekat masjid Madinah tempat Rasulullah memberi pelajaran kepada sahabatnya atau diambil dari kata suf yang berarti "bulu kambing" yang dibuat oleh kaum sufi dari Syiria.

Tasawwuf, menurut Harun Nasution, disebut juga sebagai mistikisme Islam yang tujuannya sendiri adalah untuk menuju kesederhanaan menjauhi dari sikap riya, sehingga akhirnya menjadi kaum sufi yang mempelajari ilmu tasawwuf. Bagi Annemarie schimmel, tasawwuf adalah wilayah dan jangkauannya terlalu luas dan tak satupun yang dapat mengurainya secara utuh, karena ia adalah ranah yang sarat dengan pengalaman pribadi.

Berbeda dengan lainnya, Imam Al Ghozali mendefinisikannya sebagai tuntunan yang dapat menyampaikan manusia mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya, atau disebut ma’rifat. Oleh karena itu tujuan ilmu tasawwuf tidak lain membawa manusia, setingkat demi setingkat kepada Tuhannya. Sehingga tujuan akhir hidup di dunia dan di akhirat nanti dapat tercapai. Sementara menurut Nurcholish Madjid bahwa hal demikian sebagai gejala oposisi kesalehan sebagaimana yang ada di pemerintahan Umayya di Damaskus.

Ajaran ilmu yang berdasarkan kesufian ini adalah untuk mendapatkan keridhoan Allah guna mendapatkan jalan atau tarekat kepada Allah. Jalannya yaitu dengan mujahadah, riyadah, membersihkan hati, mengosongkan dari segala yang berkaitan dengan duniawi. Dalam laku tarekat di dalamnya, selalu para murid dibimbing oleh guru yang memberi petunjuk atau yang lebih banyak dikenal dan dinamakan syeh atau mursyid.

Kehadiran seorang mursyid sangatlah penting. Contoh kongkritnya adalah bahwa pengikut atau murid yang belum mendapatkan ijazah dari mursyid tidak diperkenankan mengajarkan kepada orang lain. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dianggap sebagai pengkhianatan kepadai baiat (janji suci) yang diucapkannya ketika pertama kali ia memasuki tarekat.

Karena itu, mursyid dalam tarekat menempati kedudukan yang sangat tinggi dan signifikan sebab mursyid berkedudukan sebagai perantara (washilah) antara sang murid dengan Tuhannya. Dengan demikian, mursyid lebih ditinggikan dibanding santri atau murid. Problemnya dalam hal ini adalah bahwa perempuan seringkali dimaknai sebagai santri, yang mungkin saja keberadaannya selalu dinomorduakan jauh di bawah level mursyid.

Mursyid sebagai guru dalam melakukan ritual ketarekatan –layaknya pemimpin- syarat diidentikan sebagai orang yang harus mempunyai kharisma atau kewibawaan. Faktor kewibawaan yang dimiliki seorang mursyid ini merupakan salah satu kekuatan dalam menciptakan pengaruh di dalam masyarakat (tradisional). Tanpa kewibawaan, seorang mursyid tentu akan kesulitan dalam menciptakan pengaruh.

Dalam melihat kewibawaan mursyid, paling tidak terdapat dua dimensi yang perlu diperhatikan. Pertama, kewibawaan yang diperoleh seseorang secara given, seperti tubuh yang besar, suara yang keras, dan mata yang tajam serta adanya ikatan geneologis dengan mursyid kharismatik sebelumnya. Kedua, dengan proses perekayasaan. Dalam arti, kharisma diperoleh melalui kemampuan dalam penguasaan terhadap pengetahuan keagamaan disertai moralitas dan kepribadian yang saleh atau salehah, dan kesetiaan menyantuni masyarakat.

Akan tetapi, pandangan umum dalam dunia ketarekatan menilai bahwa kaum perempuan tidak akan bisa sampai kepada kharisma yang dimiliki seorang mursyid laki-laki sebagaimana tertulis di atas. Tetapi yang terjadi dalam sejarah dunia sufistik ternyata berbalik. Yaitu bahwa lelaki tidak selalu harus menjadi simbol "idola" sufi. Kenyataan ini terjadi ketika penghulu para sufi, Muhammad Saw, terlihat sangat apresiatif terhadap perempuan. Lihat saja, perkawinannya yang berkali-kali pada dasarnya tidaklah bermaksud merendahkan perempuan tetapi mengangkatnya ke posisi yang tinggi sebagai ummul mukminin.

Pemujaan Fatimah di kalangan Syi’ah merupakan petunjuk pentingnya peran yang bisa dimainkan perempuan dalam kehidupan keagamaan Islam.

Bukti lain yang penting bahwa sufi sejati Islam yang pertama adalah seorang perempuan, Rabi’ah al-Adawiyah. Ia terkenal sebagai sufi yang cerdas melebihi kaum laki-laki. Rabi’ah adalah "perempuan yang menyendiri dalam keterasingan suci, perempuan yang bercadar ketulusan, perempuan yang terbakar oleh cinta dan kerinduan, luluh dalam penyatuan dengan Tuhan, perempuan yang diterima oleh lelaki sebagai Maryam tanpa noda yang kedua". Rabi’ah -pada umumnya- dianggap sebagai orang yang memperkenalkan gagasan cinta (mahabbah) tanpa pamrih ke dalam ajaran-ajaran zahid awal. Cintanya pada Tuhan tidak bisa ditawar-tawar lagi, mutlak adanya.

Dengan demikian, kehebatan tasawuf perempuan Rabi'ah ini memberikan warna tasawuf sejati. Tidak ada lagi tempat bagi pikiran-pikiran cinta lain. Ia memilih untuk tidak menikah dan selalu menolak setiap laki-laki yang datang meminangnya. Baginya, cintanya pada Tuhan tidak memungkinkan mencintai seorang pun atau apa pun yang ada di dunia ini. Dia pusatkan seluruh kehendak jiwanya pada kekasih yang dicintainya.

Meskipun demikian, sejarah menunjukkan bahwa Rabi’ah bukanlah satu-satunya sufi wanita yang hidup pada masa awal perkembangan tasawuf. Margareth Smith (1928) telah mengumpulkan bahan-bahan tentang kehidupan beberapa rekan sezaman Rabi’ah, wanita-wanita sufi yang hidup pada akhir abad ke-8 di Basra, Irak, dan Syria. Di antara mereka, terdapat Maryam dari Basra dan Riana, "yang berkobar-kobar semangatnya" (al-walihah).

Data sejarah yang demikian, seharusnya menjadi inspirasi para kaum elit yang berada di institusi kesufian untuk tidak selalu memprioritaskan kaum laki-laki menjadi mursyid, namun sebaliknya juga menjadikan kaum perempuan berpeluang untuk menjadi mursyid. Penunjukkan perempuan sebagai mursyid ini adalah sebagai bentuk memahami substansi dan nilai-nilai keagungan sekaligus penghormatan yang dimiliki kaum perempuan.

Di sinilah, inti kebenaran risalah Islam yang dibawa Rasulullah saw, yang meletakkan dasar pertama atas penghormatan terhadap kaum perempuan. Bukan seperti ditafsir sebagian pemikir yang memandang “kesataran” kaum perempuan dan laki-laki hanya sebatas fungsi dan peran di ranah publik saja. Sebab Islam lebih jauh telah menempatkan kaum perempuan sebagai “tuan” yang harus dihormati dan dirindukan kaum laki-laki. Dalam paradigma agama, bahwa laki-laki dengan perempuan adalah kesepasangan yang saling membutuhkan, mengisi, dan bukan saling berbenturan apalagi menghinakan.

Kalau kita menelusuri peran perempuan pada masa awal Islam, misalkan, maka banyak sekali temuan betapa kaum perempuan (muslimah) telah memainkan peran yang sangat penting, terutama keikutsertaan mereka dalam mendukung dan membantu perjuangan Rasulullah saw. Perempuan-perempuan yang mendukung risalah spiritualitas dan dakwah Islam adalah seperti yang diperankan Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi saw, dan Sumayyah ummu binti Yasir yang menjadi martir perjuangan Islam dan ia gugur syuhada.

Kaum perempuan ketika itu terlibat secara lebih luas, seperti pendidik, pengajar yang secara aktif melakukan upaya-upaya transformasi nilai-nilai ke-Islaman di masyarakat terutama tentang Quran dan hadis sebagaimana diperankan Aisyah. Demikian ajaran Islam telah menempatkan kaum perempuan memilki hak, peran, dan kewajiban yang sama dengan laki-laki terutama terkait dengan urusan publik. Bahkan Rasul saw, pada ujung hayat beliau memberi ultimatum agar kaum perempuan dijaga dan dihormati; lewat ucapan "as-shalah, ummati, an-nisa" (salat, umat, dan kaum perempuan).

Selanjutnya pada era khulafa al-rasyidin, posisi dan peran perempuan dapat menikmati kebebasan yang cukup dengan berinteraksi di ruang publik seperti halnya mendengar khutbah dan ceramah yang disampaikan sahabat laki-laki. Tokoh perempuan seperti Ummu Abdillah bin Zubair yang terkenal dengan pengetahuan agamanya yang konfrehensif, juga ditemukan di sana.

Amrah binti Abd Rahman yang terpandang karena kedalaman ilmu fiqih dan kezahidannya serta tergolong ulama besar yang dapat memberi fatwa di Madinah setelah sahabat-sahabat Nabi, juga ditemukan di sana. Kemudian Hafsah binti Sirin yang terkenal sebagai ahli hadis dari Basrah yang dapat dijumpai dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim, juga menunjukkan bahwa kaum perempuan tidak bisa diangap remeh.

Sejarawan Ibnu Asakir (w.571/1125 M) mengakui pernah belajar kepada lebih 80 ulama perempuan. Ulama hadis dan fiqih terkenal Ibnu Hajar Al-Asqalani mencatat 53 perempuan yang menjadi sumber dalam periwayatan hadis. Jadi keberadaan perempuan sebagai ulama (spiritualis hukum), tidak bisa dipungkiri dalam realitas sejarah Islam. Islam secara normatif memberikan peluang dan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya dan berperan sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya untuk mengabdikan ilmunya di tengah masyarakat.

Dewasa ini, seperti halnya sikap Ayatullah Khomeini terhadap kaum perempuan, sangat menghormati. Terhadap isterinya, Khomeini tidak pernah marah, kalaupun merasa tidak senang dia menggunakan sindiran halus. Begitu pun kepada putrinya, Saidah Zahra yang profesor filsafat di Universitas Teheran, tidak pernah menanyakan setiap dia akan keluar rumah. Karena Khomeini percaya kepada putrinya dan membiarkan putrinya mengejar karier keilmuan. Dalam wasiatnya kepada putranya, Ahmad, Khomeini mengatakan "seseorang tidak bisa menghitung nilai perbuatan satu malam yang dijalani seorang ibu untuk mengurusi anaknya. Nilainya jauh lebih besar dari bertahun-tahun hidup yang dijalani seorang suami yang setia".

Khomeini, sebagai pemimpin agama di Iran misalkan, tidak ragu-ragu melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci piring. Ini sekaligus mematahkan mitos bahwa tempat perempuan adalah di rumah dan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, sementara laki-laki bekerja di luar rumah. Karena tidak ada ayat al-Quran yang membatasi perempuan bekerja di luar rumah.

Banyak contoh pada zaman Nabi perempuan bekerja mencari nafkah. Istri yang sangat disayangi Nabi, Siti Khadijah, berprofesi sebagai pedagang. Putri Nabi saw, Siti Fatimah, ikut bekerja mencari nafkah karena suaminya, Ali, yang memilih terjun ke politik.

Bila memahami perspektif spiritualitas Islam sejak kelahirannya, maka ketika terjadi benturan dengan tuntutan sosial atas peran perempuan, berbagai diskursus yang muncul dan cenderung menyudutkan kaum perempuan haruslah ditelaah ulang, harus diluruskan agar persepsi bahwa kaum laki-laki lebih unggul dari pada kaum perempuan, tidak makin membias dan menjadi benturan-benturan nilai. Termasuk di dalam wilayah ketarekatan, kesufian dan kespiritualan yang lebih luas kompleksnya.

Jika banyak kalangan yang berbicara tentang ketimpangan sosial berdasarkan jenis kelamin, sungguh hanya pemahaman dangkal mereka atas subtansi agama. Sebab ajaran spiritualitas Islam tidak sejalan dengan paham patriarki yang tidak memberikan peluang bagi perempuan untuk berkarya lebih besar. Tentunya dengan demikian, disuportnya kaum perempuan untuk tidak menghindari adanya penunjukkan menjadi mursyid, sangat penting diperhatikan. Hal itu karena perempuan dan laki-laki mempunyai PELUANG SAMA menjadi pemimpin dalam hal apapun termasuk di dalam wilayah kepemimpinan tarekat-spiritual.

*. Penulis adalah, Analis kehidupan. Tinggal di Yogyakarta.

Tidak ada komentar: