20 Maret, 2010

MEMBEBASKAN TASAWUF DARI CENGKRAMAN PATRIARKHI
Oleh. Mustofa Faqih.*

ISLAM, pada dasarnya, berusaha mengubah nasib perempuan menjadi kelompok paling beruntung. Islam ingin memanusiakan perempuan seperti layaknya laki-laki. Semua janji tentang pahala dan dosa tidak dibedakan bagi keduanya. Laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi menjadi hamba idola yang muttaqin, serta sama-sama bertanggungjawab sebagai khalifah di bumi, termasuk menjadi guru tarekat (mursyid).

Hal itu karena Islam mengakui adanya kesetaraan. Ini jelas dan sangat terang sekali dicontohkan Rasulullah Saw dalam kehidupannya termasuk juga al-Qur'an menegaskan secara konkrit mengenainya. Siapapun hambanya, baik laki-laki maupun perempuan, jika memenuhi syarat, layak dari kesemuanya menjadi pemimpin di segala bidang, termasuk dalam sebuah ordo tarekat.

Begitu pula tasawwuf, sebagai salah satu media olah spiritual yang nantinya akan menghasilkan sesuatu yang bersifat spirit dan mendorong terbitnya nilai-nilai etika dan melahirkan daya sensitifitas positif dalam peranannya sebagai hamba dan sekaligus khalifah, meyakini bahwa sifat keadilan sangatlah penting untuk diterapkan termasuk adil jender dalam relung jiwa ketarekatan. Artinya, ketika ritual ketarekatan masih saja membeda-bedakan tingkatan dan kemulyaan hanya karena status kelamin seorang hamba misalkan, tentua ajaran hakikat tasawuf tidak akan bakal bisa ditemukan. Bahkan tasawuf menjadi tempat perusak ajaran Islam yang sesungguhnya karena memarjinalkan kaum perempuan.

Karena itu, pengarustamaan jender dalam disiplin spirit-ketarekatan layak untuk dipahami bersama dengan bentuk memberikan peluang bagi kaum perempuan untuk menjadi mursyid jika sudah memenuhi syarat. Apa gunanya mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Kasih Yang Maha Adil, jika ternyata hati dan perilaku tarekat kita masih saja membeda-bedakan status kelamin. Padahal status dihadapan Tuhan -pada dasarnya- adalah sama, kecuali ketaqwaan.

Baik perempuan maupun laki-laki, dihadapan Allah adalah sama, karena yang dilihat Allah bukanlah jenis kelamin setiap hamba melainkan derajat taqwa masing-masing individu. Sebagaimana hal ini bisa dilihat dalam nama-nama perempuan shalihah seperti: Rabi'ah al-Adawiyah (dari Basrah), Maryam al-Basriyyah, Bahriyya al-Mausuliyyah, Rihana al-Waliha, Sya’wana, dan lain sebagainya.

Karena itu, untuk mencerminkan tasawuf yang bersih suci dan arif, sudah sepatutnya manajemen ritual tasawuf dialihkan dari yang semula tasawuf patriarkhis menuju tasawuf humanis untuk melahirkan potret tasawuf pembebasan. Yang mulanya "tasawuf melarang perempuan menjadi mursyid" dirubah menjadi "tasawuf yang memberikan peluang sama" kepada kaum laki-laki dan perempuan untuk menjadi mursyid sebagaimana Rabi'ah. Hal yang demikian penting diapresiasi mengingat sejak zaman nabi hingga pasca nabi, perempuan tetap memainkan peranan penting.

Di antara kaum perempuan sufi yang cukup berperan dalam wilayah spiritual selain Rabi'ah al-Adawiyah adalah; Rabi'ah binti Ismail dari Syria. Ia sering dikacaukan dengan nama sufi besar Rabi'ah al-'Adawiyah, akan tetapi karena ia menikah, menetap dan meninggal di Syiria 50 tahun sebelum Rabi'ah al-'Adawiyah, maka cukup jelas perbedaan keduanya.

Rabi'ah binti Ismail yang dikenal sangat asketis (zuhud) ini, mendapatkan penghormatan yang tinggi di antara para Sufi semasanya dan banyak orang yang berkonsultasi dan meminta penjelasan tentang masalah-masalah tasawuf kepadanya. Di antara keajaibannya, Rabi'ah melihat informasi akan meninggalnya Harun ar-Rasyid di sebuah tempayan (genthong isi air ?) yang ada di hadapannya dan beberapa hari kemuadian Harun ar-Rasyid ternyata benar-benar meninggal.

Perempuan sufi terkenal lainnya adalah, Mu'adzah al-'Adawiyah. Ia seorang sahabat Rabi'ah al-'Adawiyah. Mu'adzah, sebagaimana ia dipanggil, adalah salah seorang anggota aliran Hasan al-Bashri yang menitikberatkan pada kezuhudan dari pada mistikisme. Pandangan hidupnya sama dengan Hasan al-Bashri, yaitu bahwa hidup selalu di bawah bayangan takut akan kemurkaan yang akan datang.

Ibadah yang dilakukannya sangat sulit untuk ditiru karena selama 40 tahun ia tidak pernah mendongakkan kepalanya ke atas langit, tidak pernah makan sesuatupun di siang hari dan tidak pernah tidur di malam hari serta biasa melakukan salat sebanyak 600 rakaat sehari semalam. Itulah karakteristik Rabi'ah dalam upaya mendapatkan kebahagiaan disisi Allah Swt.

Seorang sufi perempuan agung lainnya adalah Nafisah, buyut Hasan bin Ali yang lahir di Mekah tahun 145 H dan tumbuh dewasa di Madinah. Ia menikah dengan Ishaq, putra Imam Ja'far ash-Shadiq dan dikaruniai dua orang anak, yaitu al-Qasim dan Ummu Kultsum. Sebagaimana para sufi lainnya ia menghabiskan siang harinya dengan berpuasa dan menghabiskan malamnya dengan ibadah salat. Ia sangat terkenal dengan pengetahuannya tentang kitab al-Quran beserta tafsirnya.

Mengenai Nafisah ini, mujtahid besar sekaliber Imam Syafi'i sering mengunjunginya dan mengadakan diskusi. Penghormatan imam Syafi'i dapat dilihat dari seringnya beliau mengadakan salat-salat khusus dengan Nafisah di bulan Ramadhan. Nafisah dikenal di seluruh Mesir dan kemana saja ia pergi reputasinya selalu mengikutinya dan ia selalu menerima penghormatan dari masyarakat baik individu ataupun kelompok. Akhirnya ia wafat di Mesir pada bulan Ramadhan tahun 208 H.

Perempuan sufi lainnya yang termasuk dalam kelompok Syeikha (mursyidah) adalah Zaynab, putri Abu al-Qasyim 'Abdur Rahman asy-Syari. Ia lahir di Naysabur pada tahun 1130 dan meninggal pada tahun1219 M. Ia termasuk sebagai murid terbaik di masanya sehingga mendapatkan ijazah untuk mengajarkan tentang ilmu Hadis. Dan ia mendapat pengakuan dari murid-muridnya tentang kesalehannya, seperti Ibnu Khallikan, Ibnu Batutah dan Ummu Muhammad Aisyah, Zainab binti Kamaluddin.

Dengan demikian, angan-angan tasawuf yang berbasis mursyid perempuan pada dasarnya tidaklah menjadi bermasalah bahkan sangat positif dan penting untuk segera dikampanyekan demi menegakan keadilan berperan seimbang sesama mahluk Tuhan. Karena itulah, tak ayal jika seorang ahli mistik Islam sekaligus feminis (berasal dari Jerman) bernama Annemarie Schimmel menyontohkan bahwa Rabi’ah telah menandai awal gerakan mistik yang sesungguhnya dalam Islam. Dia telah mengubah asketisme yang sebelumnya suram menjadi mistisisme cinta kasih murni yang indah.

Akhirnya, dengan tidak menghalang-halangi kaum perempuan untuk menjadi seorang mursyid, paling tidak akan menjadikan pertanda akan bangkitnya ajaran tasawuf pembebasan yang humanis dengan bentuk dihormatinya seluruh kaum perempuan di dunia ini. Tentunya selain itu, disiplin ilmu tasawuf dengan ritual tarekatnya yang dipimpin mursyid perempuan –diharapkan- dapat memberikan konsep kesetaraan yang tepat dan tidak lagi (terkesan) mengkerdilkan kaum perempuan sebagaimana terlihat pada upacara ritual yang melulu harus dipimpin seorang mursyid laki-laki.
***

Dari sekian pembacaan di atas, ada beberapa kesimpulan penulis yang penting untuk diperhatikan, di antaranya adalah sebagai berikut; Pertama, peradaban budaya Islam khususnya di bidang ajaran spiritualitas Islam, pada dasarnya, tidak sejalan dengan paham patriarki yang tidak memberikan peluang bagi perempuan untuk berkarya lebih besar. Dalam budaya Islam, laki-laki dengan perempuan adalah kesepasangan yang saling membutuhkan, mengisi, dan bukan saling berbenturan apalagi menghinakan. Bahkan ajaran budaya dasar spiritual Islam hakikatnya adalah memberikan kaum perempuan untuk memilki hak, peran, dan kewajiban yang sama dengan laki-laki termasuk dalam hal menempati posisi sebagai pemimpin mursyid. Karena itu, institusi kesufian tidak harus selalu memprioritaskan kaum laki-laki menjadi mursyid, namun sebaliknya juga menjadikan kaum perempuan untuk diberi peluang menjadi mursyid. Tasawuf perlu dibebaskan dari budaya patriarkhi

Kedua, peradaban budaya yang diinginkan Islam adalah menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi menjadi hamba idola yang muttaqin, serta sama-sama bertanggungjawab sebagai khalifah di bumi, termasuk menjadi guru tarekat (mursyid). Itulah mengapa, penunjukkan perempuan sebagai mursyid pada dasarnya tidak akan mengurangi atau merusak jati diri sifat ketarekatan kelompok sufi tertentu, sebaliknya hal itu merupakan bentuk mengagungkan sekaligus penghormatan kepada Tuhan sebagai pencipta. Karena itulah, TASAWUF BERBASIS MURSYID PEREMPUAN selayaknya dipublikkan demi MENGEMBALIKAN SEJARAH peradaban budaya ajaran-ajaran dasar Islam yang mengakui adanya kesamaan dan KESEJAJARAN antara kaum laki-laki dan perempuan. Tasawuf harus dibebaskan dari konstruk patriarkhi.

*. Penulis adalah, Analis kehidupan. Tinggal di Yogyakarta.

Tidak ada komentar: