19 April, 2011

AGENDA EKONOMI AGAMA BARU
Oleh. Jhon Tafbu Ritonga (Pengamat & Praktisi Ekonomi)
Sumber berita http://www.waspada.co.id

Heboh ajaran baru atas nama agama samawi berulang menjadi berita hangat yang berakhir dengan dakwaan penistaan agama. Seperti Al Qiyadah Al Islamiyah yang dikembangkan oleh Ahmad Mushadeq, atau versi Lia "Jibril" Aminuddin yang menghebohkan beberapa tahun lalu. Wanita itu akhirnya bebas dan disambut pengikutnya dengan liputan media massa.

Berbagai analisis dikemukakan oleh pengamat dan ulama atas fenomena tersebut. Sebagian akhirnya sampai pada kesimpulan yang sangat berani. Misalnya dikatakan, fenomena tersebut ialah karena korupsi yang merejalela. Karena meluasnya kemiskinan dan kebodohan. Karena kekeliruan silabus pendidikan agama di sekolah. Karena ruang gerak beraktivitas pemuda yang sempit. Maka ada yang meminta ulama dan ormas Islam introspeksi.

Mungkin karena kesal ada ulama menyatakan: "Silakan buat agama baru, tapi jangan menggunakan Islam." Dengan menggunakan agama apa pun seharusnya tak boleh dibenarkan. Bahkan PBB jangan dibiarkan membuat konvensi baru hak asasi manusia bahwa setiap orang boleh mengklaim dirinya sebagai pembawa agama baru. Sementara pemuja demokrasi menyesalkan sikap pemerintah yang melarang penyebaran ajaran tersebut. Katanya, penyebaran itu merupakan bagian dari kebebasan berpikir manusia. Demokrasi dijadikan sebagai pembenaran kebebasan berpikir menurut kemauan masing-masing orang.

Dengan kaca mata orang timur cara pandang pemuja demokrasi memang sulit dicerna akal. Betapa tidak, ketika orang barat bahkan sudah mengakui perkawinan sejenis, sementara bagi orang batak di timur ini kawin semarga saja masih dianggap sebagai "perkawinan terlarang". Di barat seorang anak yang sudah dewasa bebas mementukan pasangan hidupnya yang sejenis atau lain jenis. Di Indonesia seorang nenek masih diminta restunya dalam menentukan jodoh seorang cucu.

Jawabnya mungkin jika dianilis dengan ilmu ekonomi, yaitu ilmu yang mempelajari cara manusia mengelola sumber daya untuk memenuhi hajat hidupnya. Dengan mengikuti berita kasus menyebarnya agama baru selama ini, sejumlah fakta menunjukkan bahwa fenomena tersebut ialah bagian dari cara penggagas atau pemimpinnya mendapatkan tujuan ekonomi karena para pengikut biasanya membayar sejumlah uang.

Secara laten perilaku ekonomi telah memasuki semua relung kehidupan individu dan masyarakat. Sebagaimana dapat dilihat pada bulan puasa lalu dimana kapitalisme dan agama dibaurkan dalam cara televisi seolah-olah merupakan cara menuju syurga. Ustad-ustad beriklan di televisi supaya pemirsa mengirim pesan singkat atau SMS untuk mendapatkan nasihat. Ringtone telepon selular dengan ayat suci memasuki toilet-toilet. Di satu sisi memang ada dakwah, tapi juga ada bisnis pulsa.

Faham ekonomi liberal semakin memasuki kehidupan umat beragama. Agama diekonomikan sedemikian rupa seperti wisata dan hiburan. Perbankan membungkus produknya dengan label Islam. Sertifikasi kehalalan makanan dan minuman dianggap sebagai instrumen bisnis yang memenuhi tuntutan syariat. Prinsip ekonomi dan agama makin menyatu dalam sistem ekonomi pasar. Seorang penggemar lagu-lagu rohani membeli kaset atau compact disk. Walaupun yang didendangkan bukan syair baru, karena dirasakan memberi ketenangan batin, mereka cari ke mana pun dan beli dengan harga berapa saja..

Sedangkan penyanyi, komposer dan produser mendapat rente ekonomi dan merasa telah melakukan dakwah yang diwariskan oleh nabi ikutannya. Fenomena itu pun dianggap sebagai kebangkitan syiar agama. Penggagas atau pengikut merasa mendapat manfaat (benefit) yang lebih besar daripada biaya (cost) yang dikeluarkan. Kedua belah pihak merasakan dirinya mendapatkan utilitas yang maksimal. Akan halnya penyanyi dan penggemar senandung rohani yang menggetarkan batin, upaya itu dianggap telah mengikuti ajaran agama yang legal. Dengan demikian pengorbanan memberikan manfaat yang lebih besar.

Orang-orang yang memiliki talenta kepemimpinan seperti Ahmad Moshadeq dan Lia Aminuddin menampilkan dirinya dengan mengaku telah mendapat bisikan "wahyu". Para pengikutnya bersedia berkorban karena dengan ajaran itu mereka merasa mendapatkan utilitas atau kegunaan maksimum. Sebagai makhluk yang rasional, mereka menilai manfaat yang dirasakan lebih besar daripada ongkos yang dibayar.

Si pembawa ajaran mendapat manfaat ekonomi, dan mungkin puas karena telah membuat pengikutnya merasakan ketenangan batin. Sedangkan si pengikut yang percaya ada kehidupan abadi kelak, dengan investasi terjangkau dompet percaya akan mendapatkan syorga akherat yang dicari dan didambakan kabanyakan orang. Artinya di sini ada kalkulasi investasi atau perhitungan biaya dan manfaat.

Uraian di atas menunjukkan fenomena agama baru bukan karena kemiskinan dan bukan karena korupsi merajalela. Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang juga sering muncul ajaran atau agama baru. Pengikutnya tidak miskin tapi sanggup membayar dan banyak yang berpendidikan tinggi. Karena itu analisis ekonomi membuktikan bahwa kemunculan agama baru ialah bagian dari cara manusia memaksimalkan utilitas dengan ongkos yang relatif minim.

Sejarah agama-agama langit menunjukkan para nabi tidak mendapatkan rente ekonomi dari kegiatannya menjalankan fungsi sebagai pesuruh atau Rasul Tuhan. Dakwah dan tabligh bukan kegiatan ekonomi seperti yang dilakukan sekarang. Amar ma’ruf dan nahi munkar kewajiban semua ummat. Menjadi da’i dan mubaligh bukan seperti layaknya profesi yang dikerjakan dengan kompetensi dan reward finansial dan karir.

Dengan demikian dapat disimpulkan munculnya agama baru ialah muslihat spritual untuk mendapatkan rente ekonomi. Diterima pengikutnya karena ingin memaksimalkan utilitas pengeluaran minimal, seperti mendapat "istana di syurga" dengan investasi minimal. Jadi, bukan karena kemiskinan dan kebodohan, korupsi yang mereja lela ataupun silabus pendidikan agama. Semestinya penyebaran agama, amar ma’ruf dan nahi munkar dipastikan sebagai pengabdian kepada Tuhan. Bukan untuk mendapatkan utilitas ekonomi. Cara mendapatkan istana di syurga bukan dengan ilmu ekonomi.

Tidak ada komentar: