01 Maret, 2012

OUTSOURCHING, ADALAH BENTUK KETIDAKADILAN PEMERINTAH?
Sumber berita: http://forumkota.com

Pengaturan mengenai ketenagakerjaan pada awalnya berada dalam ruang lingkup hukum privat. Namun dengan berbagai faktor dan pertimbangan maka ketenagakerjaan dinilai adalah bagian penting untuk diatur sendiri dan mendapat campur tangan negara secara langsung. Negara dengan alat kelengkapannya turun tangan langsung untuk mengurusi permasalahan terkait ketenagakerjaan salah satunya dengan membuat regulasi yang mengatur mengenai ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) adalah salah satu undang-undang (UU) yang dilahirkan pemerintah sebagai bentuk nyata perhatian negara mengurusi permasalahan ketenagakerjaan. Maka sudah jelas bahwa ketenagakerjaan tidak lagi bagian dari hukum privat tetapi menjadi bagian dari hukum publik.

Lahirnya sebuah UU memang bertujuan untuk menyelesaikan masalah. Sesuai dengan prinsip legalitas bahwa setiap hal yang diatur oleh hukum yang dalam hal ini UU. Maka bisa mendapat campur tangan berupa batasan dalam bertingkah laku dan sanksi dari regulasi tersebut. Dalam hal ini UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur berbagai hal terkait ketenagakerjaan. Tujuannya untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dalam bidang ketenagakerjaan. Tidak bisa dipungkiri bahwa faktanya produk hukum berupa UU lahir mampu menjadi problem solving dan mampu menyelesaikan masalah. Namun tidak bisa dielakkan bahwa UU yang ciptakan untuk menyelesaikan masalah justru melahirkan masalah baru. Demikian juga halnya dalam ketenagakerjaan bahwa regulasi yang dilahirkan bahwa apa yang tidak diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak dapat tersentuh hukum. Regulasi ketenagakerjaan tersebut memang menyelesaikan berbagai masalah ketenagakerjaan sebelum UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diundangkan. Tetapi regulasi tersebut juga melahirkan masalah baru yaitu outsourcing.

Outsourcing merupakan sebuah usaha yang ditempuh oleh perusahaan yang pada awalnya dikelola oleh perusahaan lain atau perusahaan penerima pekerjaan. Akhirnya tata kelola tenaga kerja ini lebih banyak melahirkan masalah dengan berbagai sisi negatifnya. Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang pesat melahirkan persaingan dalam dunia usaha. Untuk mencapai tuntutan pasar perlu dilakukan usaha peningkatan produk dan pelayanan terhadap konsumen dengan meminimalisir pengelelolaan usaha menjadi lebih efektif, efisien, dan prosuktif. Hal tersebutlah yang menjadi faktor kuat lahirnya outsourcing.

Dalam pelaksaannya outsourcing dampaknya mayoritas merugikan pekerja/buruh. Meskipun dalam pengaturannya hubungan kerja pada outsourcing (pemborongan pekerjaan dan penyediaan pekerja/buruh) haruslah dilakukan dengan adil dan demi kesejahteraan kedua belah pihak terutama pekerja/buruh. Sebagaimana telah diatur secara jelas dalam pasal 65 ayat (6) dan (7) dan pasal 66 ayat (2) dan (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun fakta dilapangan bahwa hubungan kerjanya selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak, upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security dan tidak ada jaminan pengembangan karir serta hal-hal lain yang menunjang “kesejahteraan” pekerja/buruh. Keadaan tersebut melahirkan statement bahwa “pelaksanaan outsourcing cenderung menyengsarakan pekerja/buruh juga membuat kaburnya hubungan industrial.”

Penyelesaian outsourcing sampai saat ini belum mencapai titik terang. Karena dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sendiri tidak mengatur tentang outsourcing. Istilah ini tidak lahir dari regulasi yang dikhususkan mengatur tentang ketenagakerjaan tersebut. Sebelum adanya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum ada regulasi yang mengatur tentang ketengakerjaan dan mampu memberikan perlindungan terhadap pekerja/buruh. Terdapat satu regulasi yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 1993 tentang Kesempatan Kerja Waktu Tertentu (KKWT) yang mengatur mengenai ketenagakerjaan dan mengatur konsep yang mendekati outsourcing. Namun meski demikian masih ada statement yang menyatakan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur mengenai outsourcing. Namun tidak membuktikan bahwa permasalahan outsourcing dapat diselesaikan.

Faktor ekonomi menjadi alasan utama dilakukannya outsourcing yang dengan sengaja diperbuat untuk menekan biaya pekerja/buruh. Pasal 1601 b KUHPerdata mengatur perjanjian-perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang ke satu, pemborong, mengikatkan diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak yang lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu. Inilah aturan yang berkaitan erat dengan outsourcing. Sedangkan dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak ada istilah outsourcing. Namun dalam kenyataannya outsourcing dikenal dalam 2 (dua) bentuk, yaitu pemborongan pekerjaan dan penyediaan pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pada dasarnya tidak ada yang salah dalam pelaksaan outsourcing itu sendiri. Selama dilaksanakan dengan persyaratan ketat yang telah ditentukan dalam UU. Perlindungan hukum terhadap pengusaha dan pekerja/buruh harus dapat diberikan oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tidak ada tindakan diskriminatif yang lebih mengutamakan pengusaha ataupun pekerja/buruh. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945) Pasal 28I ayat (2) bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Hal ini juga diatur dalam Pasal 5 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” dan Pasal 6 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”

Termasuk dalam perjanjian hubungan kerja, pekerja/buruh tidak boleh menjadi pihak yang selalu dirugikan dan seharus kedudukannya harus sama. Perjanjian hubungan kerja yang dilakukan harus sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak yaitu pengusaha dan pekerja/buruh. Namun harus dalam pengawasan pemerintah karena hubungan ketenagakerjaan sudah masuk dalam ruang lingkup hukum publik. Jadi tidak mengurangi hak negara untuk dilakukannya intervensi demi tujuan baik yaitu controling dan problem solving melalui alat kelangkapan negara.

Masyarakat memahami kurangnya perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh serta masih adanya celah untuk lahirnya masalah baru atas UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan selain masalah outsourcing saat ini. Maka dilakukannya revisi atas UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan jalan keluar sebagai langkah preventif untuk masalah baru. Untuk itu perlu dibahas dan diperbaiki ketentuan dalam pasal terkait dengan outsourcing (alih daya), pengupahan, jaminan sosial dan pesangon serta dan pelaksanan perjanjian kerja waktu tertentu.

Namun sebaik apapun UU yang akan dilahirkan nantinya tetap dibutuhkan peran serta masyarakat dalam penyelesaian outsourcing dan masalah ketenagakerjaan lainnya. Penyelesaikan masalah ketenagakerjaan secara nasional tidak hanya menjadi bagian dari pemerintah tetapi juga kalangan masyarakat pada umumnya. Konteks dari masyarakat pada umumnya adalah masyarakat dalam dan luar ruang lingkup pekerja/buruh atau pengusaha.

Pemerintah sebagai badan legislatif memiliki kewajiban membuat peraturan atau kebijakan dalam menyelesaikan masalah ketenagakerjaan. Terhadap regulasi yang dilahirkan dalam penegakannya dan penerapannya dalam masyarakat. Tanpa adanya peran aktif masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan penegakan hukum maka tidak akan didapatkan hasil yang baik atas produk hukum ketenagakerjaan tersebut.

Maka usaha yang dilakukan pemerintah menciptakan perbaikan UU terkait ketenagakerjaan yang baik tentu akan sia-sia. Masyarakat yang membutuhkan peraturan yang mampu menampung aspirasi dan mewujudkan kepentingannya serta perlindungan dan kepastian hukum juga sia-sia. Karena pada dasarnya baik pemerintah dan masyarakat tidak akan dapat bertepuk sebelah tangan.

1 komentar:

outbound training malang mengatakan...

kunjungan sob ..
salam sukses selalu :)