Memahami Syahrur dan Struktur Linguistiknya
[Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an & Hadis, Vol. 8. No. 1 Januari 2007. Judul Buku: Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur. Penulis buku: Ahmad Zaki Mubarok. Editor: Muhammad Yusuf & M. Alfatih Suryadilaga. Volume: 340 halaman. Penerbit: eLSAQ Press, Yogyakarta. Cetakan I, Januari 2007].
Oleh. Mustofa Faqih. *[Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an & Hadis, Vol. 8. No. 1 Januari 2007. Judul Buku: Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur. Penulis buku: Ahmad Zaki Mubarok. Editor: Muhammad Yusuf & M. Alfatih Suryadilaga. Volume: 340 halaman. Penerbit: eLSAQ Press, Yogyakarta. Cetakan I, Januari 2007].
Tak terbantahkan, Syahrur sampai detik ini masih saja menjadi “primadona” bagi kalangan sarjana Indonesia khususnya dalam soal penafsiran al-Qur’an. Mengapa demikian, karena sang “strukturalis” ini selalu saja hadir dalam tampilan ide-ide cemerlangnya terkait persoalan penafsiran al-Qur’an. Dari deretan teori dan metodologi penafsiran yang dituangkan, selalu saja tampil hal-hal baru yang unik dan tentunya patut bagi sarjana Indonesia untuk sesegera meresponya.
Tak terkecuali Ahmad Zaki Mubarok -yang kemudian- merespon tawaran idenya Syahrur terkait soal strukturalisme linguistik. Buku dengan judul; Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur, merupakan sebuah buku yang mencoba mendeskripsikan sekaligus berupaya mempetakan kerangka pola pikir Muhammad Syahrur mengenai peletakan teori strukturalisme linguistik di dalam menafsirkan ayat–ayat al-Qur’an.
Tak terkecuali Ahmad Zaki Mubarok -yang kemudian- merespon tawaran idenya Syahrur terkait soal strukturalisme linguistik. Buku dengan judul; Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur, merupakan sebuah buku yang mencoba mendeskripsikan sekaligus berupaya mempetakan kerangka pola pikir Muhammad Syahrur mengenai peletakan teori strukturalisme linguistik di dalam menafsirkan ayat–ayat al-Qur’an.
Lazim diketahui, bahwa mendeskripsikan detilitas makna merupakan hal yang paling tipikal dari model ‘pembacaan’ Syahrur. Karena itu, penggunaan analisis kebahasaan terkait dengan kata dalam sebuah teks dan struktur bahasa, menjadi ciri utama untuk dijadikan sebagai “mobil pribadi” Syahrur dalam mengejar da
n mengecek beberapa makna yang tersebunyi (hidden) di balik redaksi teks yang nampak.

Menurut Syahrur, untuk memahami makna kata, haruslah dicari dengan menganalisis kaitan atau hubungan suatu kata dengan kata lain yang berdekatan dan berlawanan (analisis paradigmatik). Makna yang tepat sangatlah tergantung pada konteks logis kata tersebut dalam suatu kalimat. Karena itulah, makna kata pastilah dipengaruhi oleh hubungannya secara linier dengan kata-kata sekelilingnya (analisis sintagmatis). Metode pencarian makna yang seperti itu, lazim dalam konteks strukturalisme linguistik disebut sebagai metode analisa paradigmatik dan sintagmatis.
Di samping bersandar kepada metode semantik Abu Ali Al-Farisi yang bisa didapatkan dalam khazanah pemikiran Ibn Jinni dan Abd al-Qadir al-Jurjani (terlihat seringnya Syahrur memilih kamus Maqayis al-Lughah, red), secara tidak langsung penggunaan teori strukturalisme linguistiknya juga di dasari atas pandangan-pandangan revolusioner Ferdinand de Saussure dalam kajian bahasa yang membedakan pendekatan diakronis dan sinkronis, membedakan Langue dan Parole, relasi Sintagmatis dan Paradigmatis, perbedaan Signifie dan Signifiant, Form dan Subtance.
Pendekatan Saussure tersebut, menganggap bahwa hakikat bahasa dalam perspektif strukturalisme linguistik merupakan sebuah sistem, konvensi, komunikasi, simbol, arbiter, sekaligus unik. Karena asumsi itu, strukturalisme linguistik mempunyai asumsi bahwa bahasa merupakan sistem yang terdiri dari kaidah-kaidah abstrak yang menentukan kombinasi serta relasi antar unsur bahasa. Analisa ini, pada gilirannya akan menurunkan beberapa prinsip analisis strukturalis serta pandangan mengenai hakikat bahasa. Beberapa prinsip itu adalah Imanensi, Distingsi, Kesesuaian, Integrasi, Perubahan Diakronis dan Fungsional.
***
***
Ada beberapa hal penting untuk diperhatikan terkait dengan pendekatan strukturalisme, yaitu munculnya distingsi-distingsi baru dari dikotomi bahasa yang digagas Sausure. Pertama, bahwa Langue sebagai sistem tanda dalam bahasa, menjadi tanda dalam sistem budaya masyarakat penuturnya. Sistem tanda hadir tidak atas kesadaran personal melainkan atas konstruksi masyarakat yang tidak atas kesadarannya, sehingga Langue bersifat “anatomi”dan “virtual”. Di sisi lain, yang kedua, parole sebagai ekpresi seseorang, secara personal merupakan pesan ya
ng hadir dari kesadaran personalnya, sehingga pesan itu bersifat “intensional” dan secara “aktual” ia selalu mengikuti peristiwa.

Jika analisis Sausure diakui merupakan konstruksi masyarakat penuturnya, berarti di dalam suatu bahasa terdapat proyeksi budaya masyarakat penuturnya. Itulah mengapa, bahasa sebagai sistem tanda, dengan sendirinya mengandung dua unsur yang tidak boleh tidak (willy nilly) harus ada secara bersama-sama,yaitu penanda dan petanda. Hubungan keduanya bersifat arbitrer, tidak alami. kearbitreran itu disebabkan bahasa sebagai konstruks masyarakat penutur bahasa, sehingga hak ciptanya ada pada masyarakat penutur.
Karena itu, jika ditelusuri kajian ini, maka “makna” suatu “kata” tidak mutlak dan ada sejak dahulu kala, melampui konstruksi masyarakat. “Makna” itu kemudian, ada dan eksis di dalam kehidupan masyarakat pemilik bahasa, sehingga pemaknaan suatu kata, harus dirujukkan pada masyarakat penuturnya.
Begitu juga menurut Syahrur, bahwa bahasa mempunyai hakikat sebagai sistem, konvensi, komunikasi, tanda/simbol, bunyi, unik dan arbiter. Pandangan demikian, sejatinya sangat sejalan dengan hakikat bahasa dalam perspektif Strukturalisme Linguistik. Pengkajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan analisa Strukturalisme Linguistik, sering digunakan Syahrur dalam upaya memetakkan artikulasi makna yang ada dalam kitab al-Qur’an.
Menjadikan Strukturalisme Linguistik sebagai pisau analisa dalam mencari dan mengejar makna yang ada pada sebuah redaksi teks, keberadaannya menjadi penting dalam rangka membongkar beberapa tanda dan simbol yang ada pada redaksi teks al-Qur’an. Karena itu, ketika langue sudah terkonversi ke dalam bentuk teks, (berpijak pada beberapa konsep terminologi Strukturalisme Linguistik), maka teks akan menjadi otonom dan sekaligus menampilkan dirinya melalui relasi sistem tanda sehingga memungkinkan pembaca mengajak dialog dengannya.
Begitu juga sama dengan teks keagamaan (al-Qur’an maupun Hadis, red) akan menjadi otonom ketika teks keagamaan sudah terbentur ke dalam bahasa manusia dan secara tidak langsung teks keagamaan tersebut terikat pada sistem tanda dan petanda, dan sudah barang tentu akan terikat pada sebuah sistem bahasa yang ada (bahasa Arab, red). Jika demikian, untuk menerapkan konsep pembacaan Strukturalisme Linguistik pada teks keagamaan (al-Qur’an, red), sebagai contoh, pertama-tama yang dilihat adalah bahwa firman Allah memuat dari dua hal yaitu Parole dan Langue.
Hal itu sebagaimana diketahui bahwa fenomena kebahasaan yang nampak (sesungguhnya) merupakan perwujudan dari suatu sistem abstrak yang disebut sebagai sistem bahasa Langue, atau dengan kata lain bahwa Langue adalah bersifat kongkret karena merupakan perangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif dan bisa digambarkan secara terinci karena tanda bahasanya bisa dilambangkan dengan tulisan yang konvensional. Sedangkan Parole merupakan konsepsi sebaliknya, yaitu bahwa keberadaannya sangatlah sulit untuk digambarkan secara terinci dan susah juga untuk dikenali atau dituliskan dengan tulisan dan ia diturunkan secara personal bukan kolektif.
Praktisnya –jika diterapkan- adalah bahwa wahyu Allah sama dengan Parole dalam konsepsi Srukturalisme Linguistik, karena ia diturunkan Tuhan secara personal. Tetapi karena ia berhubungan dengan alam manusia, maka bahasa firman Tuhan (wahyu atau isyarat) harus disesuaikan dengan bahasa Manusia.
Dalam konsepsi Srukturalisme Linguistik, bahasa Arab inilah yang nantinya disebut Langue. Nah, pada aspek Langue inilah, wahyu Tuhan tersebut baik ketika dibahasakan dalam bahasa Arab maupun ketika dituliskan (sesungguhnya secara tidak langsung) telah berhubungan dengan budaya dan kultur Arab secara berdialektis. Tentu saja ruang gerak bahasa yang ada pada wahyu Tuhan, sudah terikat dengan beberapa aturan gramatikal bahasa Arab.
Karena itu, sangat wajar tentunya jika teks keagamaan baik al-Qur’an maupun Hadis (dengan kondisi langue-nya), sangat boleh dan sah (dan silahkan) untuk dianalisa sedemikian rupa dengan berbagai macam metode analisa kebahasaan apapun tak terkecuali analisa model strukturalisme linguistik dengan berbagai perangkat metode yang dimilikinya (baca; al-Qur’an merupakan produk budaya, red).
Tentu dibolehkannya untuk dianalisa dan “diobrak-abrik”nya itu dalam level al-Qur’an ditingkatan aspek Langue. Karena pada ranah Langue inilah, sebetulnya al-Qur’an telah menjadi produk budaya dan tentunya otonom dan dengan sendirinya sudah terikat dengan sistem dan kode kebahasaan budaya setempat. Pada tarap inilah, peran strukturalisme linguistik masuk dengan memainkan beberapa jurusnya untuk mengejar, menggali, mengungkap dan untuk menemukan makna yang tepat (aksiomatik) yang terdapat pada redaksi teks al-Qur’an.
Proses pencarian makna yang sedemikian, karena disadari bahwa lahirnya makna tidaklah semata-mata berasal dari teks, akan tetapi melalui proses dialektika antara teks dengan manusia sebagai objek teks, seperti juga yang terjadi dari relasi antara teks dengan kebudayaan sebagai relasi dialektis yang saling menguatkan dan satu sama yang lain mengkombinasikan dirinya pada saat memunculkan wacana, pemikiran dan ideologi.
Akar pikiran manusia-lah yang melahirkan makna dan berbicara atas nama teks, sedangkan teks itu sendiri tidak berbicara, sehingga otoritas ini dapat dikatakan sebagai produk dari proses dialektika. Itu semua karena telaah dan kajian terhadap teks, difokuskan (dan memang kajiannya bisanya hanyalah berfokus) di wilayah bahasa dalam pengertian lugoh dan lisan atau langue, sebagaimana dimaknai oleh Saussure. Yaitu bahasa yang posisinya sebagai realitas historis yang bersifat manusiawi dan merupakan aksioma masyarakat bahasa, sehingga dengan sendirinya merupakan bagian dari kebudayaan (tak terkecuali teks keagamaan misalkan; al-Qur’an sekalipun).
Apa yang diinginkan Strukturalisme Linguistik Saussure, di kemudian hari, dituangkan dan diracik oleh Syahrur dengan “teori-teori turunan” yang dimiliknya untuk dieksplor ulang kepada pembaca, termasuk kita sebagai pembaca.
Meskipun demikian, siapapun orangnya berhak menolak maupun menerima metode penafsiran yang diaplikasikan untuk mengejar dan mencari makna-makna yang ada di dalam redaksi ayat-ayat al-Qur’an baik yang berkarakter dan bersifat liberal, neoliberal, modern, neomodern, postmodern, tradisional, post-tradisional, konservatif, lunak, keras, eksklusif, inklusif, kiri, kanan, kanan, kiri, luar, dalam, pinggir, tengah, maupun yang bersifat lainnya, tentu saja metode-metode penafsiran tersebut tidak akan pernah mengurangi karisma dan kemu’jizat yang ada di dalam kitab al-Qur’an dan malahan dengan berbagai metode penafsiran tersebut, akan memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan penafsiran al-Qur’an dan sudah barang tentu menghasilkan konsepsi pemahaman makna dan postulat-postulat baru yang ada dalam al-Quran.
Jika ditelusuri dari proyeksi konsep strukturalisme linguistik yang ditawarkan oleh Syahrur yang kemudian diexplor ulang pengkajiannya oleh Ahmad Zaki Mubarok dalam buku ini, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur, tentu saja kita bisa merenung sejenak, bahwa ternyata respon keilmuan Islam kontemporer yang telah dan sedang berkembang diresapi betul oleh para sarjana Indonesia khususnya UIN Sunan Kalijaga yang dalam ranah aplikasinya sudah bisa terlihat dalam bentuk kajian Skripsi, Tesis maupun Disertasi yang kemudian diproses untuk dijadikan buku sebagaimana buku tulisan Ahmad Zaki Mubarok ini.
Jika demikian halnya, buku yang mencoba mendeskripsikan konsep strukturalisme linguistik yang ditawarkan oleh Syahrur ini, tentu saja mempunyai geneologi sumber yang runtut. Artinya, bahwa mengamati, mengkaji, berdialog, bersinggungan dengan kajian Strukturalisme Linguistik ini, kita tidak bisa melupakan jasa besar al-Marhum Mongin Ferdinand Saussure.
Begitu juga ketika kita teringat oleh al-Marhum Mongin Ferdinand Saussure, tentu juga kita tidak bisa melupakan jasa kedua al-marhum Brughman dan Hubschmann dan guru-gurunya ke atas. Ada rentetan sejarahnya yang tidak bisa dinafikan. Dan jika demikian, tentu saja Syahrur bukanlah pencetus utama dari kerangka teori strukturaslisme linguistik ini, melainkan beliau adalah semata-semata sebagai peminat bidang linguistik yang ilmu itu kemudian sampai didepan kita dan bisa kita baca (silahkan).
Itulah mengapa, deretan guru-gurunya Syahrur juga perlu kita baca dan kita kaji ilmunya. Mereka –misalnya- adalah semisal Ferdinand De Saussure, Derrida, J. Habermas, A.N Whitehead, Hegel, dan juga tokoh lainnya semisal, Ja’far Dakk al-Bab, Abu Ali al-Farisi, Ibn Faris, al-Jurjani, Ibnu Jinni, Zamakhsyari. Melihat hal yang demikian, sangat wajar jika pada akhirnya kerangka dan pola pikir Syahrur di dalam pembacaan al-Qur’an, terlihat berbeda dengan deretan mufassir klasik lainnya.
Untuk itu, buku seperti yang ditulis oleh Ahmad Zaki Mubarok ini, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur, bagaimanapun juga tidaklah berlebihan untuk dikatakan bahwa buku ini sangatlah penting dibaca oleh para pengkaji Islam. Terlepas pro dan kontra, sepakat atau tidak sepakat terhadap pemikiran Syahrur, tentunya riset atau pembahasan kritis dan analitik terhadapnya, merupakan satu keniscayaan dan kehadirannya buku ini juga perlu diapresiasi. @
* Penulis adalah peneliti lepas & pengamat problem sosial-agama dan budaya. Penulis bisa disapa di http://kangmus.tripod.com/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar