Perempuan dalam Kultur Patriarkhi Media
[Tulisan ini pernah dimuat di Junal Musawa; Jurnal Studi Jender dan Islam, Vol. 5, No. 4, Oktober 2007. Judul Buku: Wanita dan Media Massa, Penulis: Hj. Siti Sholihati, MA., Editor: Mu’ammar Ramadhan, Volume: xii + 164 halaman. Penerbit: TERAS, Sleman Yogyakarta. Cetakan I, Mei 2007. ISBN: 979-9781-18-3].
Oleh. Mustofa Faqih. *
Budaya media sebagaimana dituturkan Douglas Kellner dalam buku Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Postmodern, menunjuk pada suatu keadaan di mana tampilan audio dan tontonan-tontonan (visual) telah mendorong pola kehidupan sehari-hari, mendominasi proyek-proyek hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan sebagaimana diurai Wiwiek Suhartami, mampu memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang. Karena itu interaksi antar
a perempuan dan media merupakan hubungan dinamis yaitu "memanfaatkan dan dimanfaatkan", tanpa harus jelas mana yang memanfaatkan dan dimanfaatkan.
[Tulisan ini pernah dimuat di Junal Musawa; Jurnal Studi Jender dan Islam, Vol. 5, No. 4, Oktober 2007. Judul Buku: Wanita dan Media Massa, Penulis: Hj. Siti Sholihati, MA., Editor: Mu’ammar Ramadhan, Volume: xii + 164 halaman. Penerbit: TERAS, Sleman Yogyakarta. Cetakan I, Mei 2007. ISBN: 979-9781-18-3].
Oleh. Mustofa Faqih. *
Budaya media sebagaimana dituturkan Douglas Kellner dalam buku Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Postmodern, menunjuk pada suatu keadaan di mana tampilan audio dan tontonan-tontonan (visual) telah mendorong pola kehidupan sehari-hari, mendominasi proyek-proyek hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan sebagaimana diurai Wiwiek Suhartami, mampu memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang. Karena itu interaksi antar

Karena itu dilihat dalam konteks ini, media tak hanya cukup dilihat sebagai alat untuk menyebarkan informasi an sich, tetapi lebih penting lagi sebagai satu situs di mana imajinasi sosial dikonstruksi dan direkonstruksi, diproduksi kemudian direproduksi. Lebih lagi, dengan memahami representasi dan penggunaan media, seseorang bisa mengemukakan partisipasi perempuan dalam berbagai aspek lini kehidupan. Demikian juga buku yang berjudul Wanita dan Media Massa, karya; Hj. Siti Sholihati, MA., menampilkan berbagai kajian yang cukup menarik terkait dengan bagaimana media selama ini mengkonstruks dan memproduk seseorang untuk memandang kaum wanita.
Sangat cukup mencengangkan tatkala media selama ini terbongkar telah menampilkan beberapa konstruksi pandangan yang sengaja dikemas untuk membentuk identitas perempuan dengan berbagai macam bentuk image. Menurut beberapa catatan yang ada dalam buku ini, tertulis beberapa informasi mengenai hal itu, pertama; bahwa hadirnya bintang wanita tidak selalu berkaitan dengan jenis-jenis produk yang ditawarkan.
Misalkan, ketika produk yang ditawarkan berkaitan dengan wanita (untuk konsumen wanita), maka munculnya bintang wanita pada bintang tersebut memang –menurut buku ini- sesuai dengan target marketnya akan tetapi jika produk tidak berkaitan sama sekali dengan wanita, maka tak jarang -menurut buku ini- iklannya tetap saja menggunakan bintang /artis wanita.
Kedua, tak jarang dalam mempromosikan produk-produk kerumah tanggaan selalu saja di bintangi oleh wanita bahkan wanita sering dijadikan bintang tunggal untuk mempromosikan produk-produk kerumah tanggaan meskipun hakikat produk tersebut merupakan kebutuhan semua orang (baik istri, suami maupun wanita). Ketiga, ada beberapa versi yang sangat berbeda ketika media menawarkan beberapa produk dagangannya, meskipun produk tersebut pada hakikatnya juga sama. Dengan beberapa tampilan wanita yang berbeda meskipun hakikat produk konsumtif yang ditawarkan sama, media menampilkan hal itu berbeda.
Karena itu menurut buku ini, ada beberapa konstruk penggambaran yang sering digunakan media untuk memberikan pencitraan terhadap sesosok wanita. Di antara pencitraan yang sering digunakan media sebagaimana diurai buku ini adalah, pertama; media terkesan sering “mewajibkan” agar wanita selalu tampil cantik di depan umum. Pencitraan yang demikian merupakan
upaya media untuk memposisikan citra wanita sebagai pesolek atau sosok yang suka berdandan.

Pencitraan yang seperti ini bisa terlihat dalam tampilan televisi yang memberikan indikator-indikator seperti wanita menjadi murung atau sedih ketika menyadari penampilannya tidak sempurna atau tidak cantik atau yang lain misalkan wanita selalu bersifat boros dengan menghamburkan uang untuk membeli produk kosmetik.
Kedua, adalah pencitraan terhadap wanita sebagai the second class atau inferior dibanding kaum pria. Citra ini muncul pada iklan televisi yang menempatkan wanita sebagai pelengkap (the second person). Sering digambarkan dalam televisi bahwa wanita selalu kalah dengan pria dalam merebutkan peran di wilayah publik. Menurut buku ini, iklan televisi dengan sangat jelas memberikan legitimasi dan penguatan terhadap stereotip yang dibuat masyarakat mengenai wanita, yaitu wanita sebagai pengagum, pelengkap dan penghibur pria meskipun kadang juga membuat legitimasi tentang dominasi serta kekuasaan pria atas wanita.
Ketiga, adalah pencitraan adanya wanita sebagai figur sentral pada iklan yang menawarkan produk rumah tangga dengan memvisualisasikan karakter wanita secara eksesif dan fulgar, serba bisa sebagai istri, ibu dan mengerti banyak tentang hal kerumah tanggaan. Poin penting pencitraan yang ketiga tersebut adalah adanya visualisasi rasa ikhlas dan bangga dari sesosok wanita yang sedang melakukan tanggung jawabnya dengan baik kepada sang suami.
Pencitraan terhadap wanita yang ke-empat dalam media adalah, adanya citra wanita sebagai pemikat pria. Citra ini tergambar melalui visualisasi terhadap wanita yang berperilaku genit. Indikator bahwa media memberikan citra ini adalah, adanya visualisasi terhadap jalan dan gerakan tubuh yang berlebihan, senyum yang menggoda, dan lirikan serta kedipan mata yang secara kultural dimaknai berkonotasi sexual relations. Wanita akan merasa bangga dan puas apabila memiliki tubuh langsing, mata dan bibir indah, rambut bagus sehingga bisa membuat pria memperhatikannya, kalau perlu sampai sang pria terbengong-bengong kagum.
Dengan beberapa citra yang dibangun media untuk menggambarkan sesosok wanita, buku ini dipertengahan penjelasannya, menguraikan dengan menjelaskan hasil penelitian Idi Subandi Ibrahim dan Hanif Suranto, bahwa peran televisi selama ini masih jalan di tempat yang hanya berfungsi sebagai penjaga gawang status-quo dan kelompok-kelompok dominan dari lembaga-lembaga sosial yang ada. Televisi sebagai media kurang berfungsi sebagai pendobrak nilai-nilai kultural di masyarakat yang dianggap kurang mapan. Termasuk di antara status-quo yang dipertahankan media relevisi –bahkan semakin diperkuat- adalah mengenai pelabelan atau stereotip tentang eksistensi wanita di masyarakat.
Dalam beberapa hasil penelitian sebagaimana diungkap dalam buku ini, televisi dituduh sebagai agen perubahan sosial yang justru semakin memperkuat budaya diskriminasi terhadap wanita dengan berbagai sajian acaranya baik melalui sinetron, iklan, dunia hiburan dan musik yang terkesan melecehkan wanita. Dalam konteks acara-acara tersebut, keberadaan wanita dicitrakan sebagai mahluk yang pasif, lemah, cengeng, memelas, tidak mandiri, tergantung pada kaum pria, dan tidak berani mengambil keputusan.
Karena itu, menurut buku ini, pemberian pelabelan atau stereotip yang diberikan oleh media kepada wanita merupakan bentuk dari usaha atau upaya memperkuat status male dominated. Selanjutnya dengan mencoba mempetakan kondisi masyarakat dalam kelompok sosial - kelompok sosial tertentu, buku ini mengkategorikan masyarakat sebagai kelompok sosial sebagai berikut; (1). Kategorisasi sosial atas dasar etnisitas, (2). Kategorisasi atas dasar agama, (3). Kategorisasi sosial berdasarkan jenis kelamin.
Dengan kategorisasi yang terakhir tersebut, maka dalam kelompok masyarakat akan muncul dua kelompok yaitu laki-laki dan wanita yang pada gilirannya masing-masing laki-laki dan wanita tersebut akan menggunakan pandangan stereotip untuk kelompok lainnya.
Sebagai salah satu unsur dari kategorisasi sosial dan budaya Indonesia, pada giliranya ditemukan kecenderungan pelabelan atau stereotip yang diberikan oleh masyarakat terhadap adanya perbedaan jenis kelamin dalam masyarakat. Pelabelan tersebut, menurut buku ini, bersifat ekstrem yaitu dimana karakter wanita selalu dikontraskan secara dikotomis dengan karakter pria, baik secara kodrati-biologis maupun secara konstruktif-kultural.
Stereotip yang diberikan kepada kaum wanita misalkan; bahwa wanita merupakan individu yang lemah, emosional, melakukan peran domestik, inferior bila dibandingkan dengan laki-laki dan karena itu mereka harus mengalah dengan laki-laki. Sebaliknya kaum laki-laki dianggap kuat, rasional, melakukan peran di wilayah publik, superior bila dibandingkan dengan wanita dan karena itu kaum laki-laki harus menang atau dimenangkan. Stereotip yang demikian pada akhirnya semakin menguat di masyarakat karena didukung oleh sistem sosial yang kondusif.
Buku ini lebih lanjut memberikan contoh stereotip yang ada bagi kaum perempuan sebagai kaum lemah dan tidak berdaya sedangkan kaum pria sangat berdaya dan kuat perkasa. Misalkan saja contoh produk iklan M 150 yang ada di TPI dan ANteve.
[Dalam iklan ini, divisualkan ada seorang wanita yang tengah berada di jalan raya tiba-tiba tergelincir dan kakinya terperosok pada lubang besar. Pada saat yang sama sebuah truk trontonan akan melintas di jalan tersebut. Pada bagian lain ada tiga pria yang melihat wanita tergelincir itu dari kejauhan. Dalam situasi yang genting tersebut itulah, dengan melompati beberapa gedung yang tinggi, seorang laki-laki berhasil menyelamatkan wanita tersebut setelah sebelumnya meminum minuman suplemen (M 150). Pria tersebut menyelamatkan wanita itu dengan cara mendekap dan mengangkatnya dari lobang tempatnya terperosok].
[Dalam iklan ini, divisualkan ada seorang wanita yang tengah berada di jalan raya tiba-tiba tergelincir dan kakinya terperosok pada lubang besar. Pada saat yang sama sebuah truk trontonan akan melintas di jalan tersebut. Pada bagian lain ada tiga pria yang melihat wanita tergelincir itu dari kejauhan. Dalam situasi yang genting tersebut itulah, dengan melompati beberapa gedung yang tinggi, seorang laki-laki berhasil menyelamatkan wanita tersebut setelah sebelumnya meminum minuman suplemen (M 150). Pria tersebut menyelamatkan wanita itu dengan cara mendekap dan mengangkatnya dari lobang tempatnya terperosok].
Menurut analisa buku ini, ciri dan ide pokok yang muncul dalam iklan minuman suplemen M 150 tersebut adalah menggambarkan representasi dari dikotomi dan stereotip ekstrim yang berkembang dalam masyarakat mengenai sifat biologis yang melekat pada pria dan wanita. Karakter utama pria digambarkan sebagai sosok yang gagah dan kuat secara fisik dan menjadi pelindung sekaligus penjaga bagi kaum wanita. Sedangkan karakter wanita dihadirkan sebagai sosok yang lemah, tidak berdaya dan selalu membutuhkan perlindungan dari pria.
Pelabelan atau stereotip yang dianggap cenderung merugikan kaum perempuan tersebut, sebagaimana telah diuraikan dalam buku yang mengutip data dari salah satu sumber penelitian, sering dimunculkan dalam berbagai media khususnya media televisi. Di antara stereotip tersebut adalah; bahwa wanita itu pasif, tergantung pada pria, didominasi oleh pria, menerima keputusan pria, dan lebih parah lagi sebagai ‘simbol seks’. Karena itu, media TV kemudian dianggap oleh para pemerhati media massa sebagai agen sosial yang efektif untuk menumbuhkan dan menguatkan stereotip negatif tentang wanita.
Buku simpel yang ditulis oleh Siti Sholihati ini, secara sistematis penulisannya, mempunyai tujuan salah satunya adalah untuk mengetahui bagaimana cara televisi swasta di Indonesia membuat dan mengkonstruksi citra wanita Indonesia, membangun image tentangnya, dan kemudian menghadirkannya ke hadapan publik. Bagaimana proses itu dituangkan oleh media menjadi point kefokusan buku ini. Meskipun demikian, buku yang meneliti produk tayangan iklan komersial di TV Swasta ini hanya membatasi iklan komersial yang ada di AN-teve, Trans TV, Indosiar, TPI, RCTI, dan SCTV.
Menurut buku ini, keberadaan iklan di media massa mulai meningkat secara drastis terutama pasca Perang Dunia Pertama. Kedudukannya menempati posisi yang sangat penting karena termasuk menjadi bagian sentral dari landasan ekonomi sebuah media. Itulah mengapa, keberadaan iklan menjadi sangat signifikan terutama bagi televisi swasta, di mana biaya operasional televisi swasta hampir sepenuhnya bergantung pada pendapatan dari sektor iklan.
Karena itu, menurut William Wells sebagaimana dikutip oleh Siti Sholihati dalam buku ini, ada tiga elemen penting yang memegang peranan dalam wacana periklanan, yaitu 1). pengiklan, 2). biro iklan, dan 3). media. Ketiga elemen tersebut dalam proses kerjasama saling menopang antara satu dengan lainnya. Namun demikian, peran iklan sebenarnya hanya berusaha untuk melakukan kanaliasi pola perilaku dan sikap masyarakat yang sudah ada. Pola perilaku dan sikap masyarakat tersebut pada gilirannya kemudian dikonstruksi oleh media melalui iklan dan dihadirkan kembali ke hadapan masyarakat.
Dengan melihat proses itulah, produk iklan senantiasa terus didesain untuk memiliki daya jual. Salah satu cara untuk mendongkrak daya jual tersebut adalah dengan menampilkan bintang perempuan. Dalam konsepnya ternyata, perempuan diyakini memiliki daya tarik tersendiri dalam dunia iklan dan hiburan bahkan di media massa. Karena itulah terlihat dan sangat jelas sekali bahwa bintang perempuan sangat mendominasi hampir di semua tanyangan iklan yang ditampilkan dalam televisi tanpa memandang untuk siapa atau segmen mana produk tersebut ditawarkan.
Menampilkan sesosok tubuh perempuan diyakini sangat mampu mendongkrak pembelian produk iklan. Tujuan utama iklan adalah untuk menjual produk. Karena itu iklan harus dikemas secara menarik dan markerable. Dikatakan menarik jika dalam sebuah iklan ditampilkan seorang perempuan untuk menawarkan produk iklan yang dijajakan. Kondisi yang demikian sebagaimana ditulis dalam buku ini bisa diyakini sebagaimana hal itu diyakini juga oleh Ja’far Assegaf dan Priosoedarmo dalam penelitian yang dilakukan oleh Idi Subandy dan Hanif Suranto.
Menurut Ja’far Assegaf bahwa iklan televisi khususnya lebih banyak mengeksploitir kaum wanita untuk kepentingan komersial, terutama untuk kepentingan iklan. Proses eksploitasi wanita ini sering bisa terlihat di beberapa tayangan iklan yang ditampilkan. Dengan tanpa menyadari efek atau akibat dari beberapa pola dan perilaku kaum perempuan yang ditayangkan untuk membawakan sebuah produk iklan tersebut, banyak dari beberapa wanita merasa santai bahkan nyaman dengan keberadaan perilakunya meskipun pada dasarnya sudah terjadi eksploitasi yang begitu cukup besar di kehidupannya (kaum wanita).
Kondisi yang demikian, menjadi cukup menarik untuk diperbincangkan karena kaum perempuan sendiri selama ini ternyata telah mensuport dirinya untuk mensetujui “dilembagakannya” budaya patriarkhi yang ada di media. Kultur patriarkhi yang ada di media semakin besar bahkan mengakar dan mengkonstruk pola pikir masyarakat terus menerus yang selama ini menjadi sasaran produk iklan. Hampir semua iklan komersial yang ditayangkan pada televisi swasta menggunakan bintang perempuan meskipun produk yang ditawarkan bukan secara khusus produk wanita.
Dari 45 buah iklan komersial televisi yang diamati, sebagaimana ditulis dalam buku ini, 80 % menggunakan bintang perempuan sedangkan 20 % lainnya tidak menggunakan bintang perempuan. Ada kecenderungan sosok bintang perempuan mampu menjadikan produk iklan menjadi terjual habis. Karena itu satu perempuan sangat begitu penting keberadaannya bagi sebuah iklan meskipun dalam adegan iklan yang ada sangat sering terlihat memperlemahkan perempuan.
Kondisi yang demikian, menjadi cukup menarik untuk diperbincangkan karena kaum perempuan sendiri selama ini ternyata telah mensuport dirinya untuk mensetujui “dilembagakannya” budaya patriarkhi yang ada di media. Kultur patriarkhi yang ada di media semakin besar bahkan mengakar dan mengkonstruk pola pikir masyarakat terus menerus yang selama ini menjadi sasaran produk iklan. Hampir semua iklan komersial yang ditayangkan pada televisi swasta menggunakan bintang perempuan meskipun produk yang ditawarkan bukan secara khusus produk wanita.
Dari 45 buah iklan komersial televisi yang diamati, sebagaimana ditulis dalam buku ini, 80 % menggunakan bintang perempuan sedangkan 20 % lainnya tidak menggunakan bintang perempuan. Ada kecenderungan sosok bintang perempuan mampu menjadikan produk iklan menjadi terjual habis. Karena itu satu perempuan sangat begitu penting keberadaannya bagi sebuah iklan meskipun dalam adegan iklan yang ada sangat sering terlihat memperlemahkan perempuan.
Karena itu, melihat beberapa uraian yang ada dalam buku ini tentu sangat menarik bagi pembaca khususnya bagi kaum perempuan untuk mendalami sekaligus merasakan lebih dalam terkait dengan adanya stereotip yang dilabelkan kepada perempuan di beberapa iklan media. Bahkan lebih ekstrem lagi dengan membaca buku ini, sense of gender kita mulai bisa terasah yang pada gilirannya akan menjadikan diri kita -khususnya bagi perempuan menjadi- lebih tajam dan peka atas beberapa peristiwa kehidupan yang masih saja mengembangkan kultur patriarkhi di beberapa iklan media.
Media hanya menayangkan atau menggambarkan kembali, melalui iklan, berita, features, dan sebagainya, sifat-sifat feminim yang dilekatkan pada diri perempuan. Umpamanya keharusan untuk lebih mempertimbangkan emosi ketimbang pikiran, berperilaku halus dan lemah-gemulai dari pada kasar, serta peran sosialnya yang mesti berkiprah di ranah rumah tangga (domestic domain) bukan di ranah publik (public domain), yang sejak lama dibentuk masyarakat.
Melalui ragam media, citra perempuan ditampilkan dengan berbagai daya tarik feminitasnya, apakah itu tubuhnya yang langsing, suaranya yang merdu, pakaiannya yang modis dan up to date, serta perilakunya yang mengesankan keanggunan. Kalaupun ditampilkan maskulin, seperti agresif dan kasar serta berpakaian layaknya laki-laki, hal itu akan dianggap sebagai penyimpangan belaka.
Demikian juga, kerapkali bisa dilihat ragam media yang menghidangkan tampilan aktivitas perempuan yang sedang mencuci, mengasuh anak, memasak, serta menyapu dan mengepel rumah dengan penuh keceriaan. Dan jika ditampilkan pekerjaan perempuan di luar rumah, kalaupun tidak diasosiasikan dengan penyimpangan, selalu dikaitkan dengan pengertian konotatif komplementer seperti membantu menambah pendapatan suami atau sekadar mengisi waktu senggang setelah pekerjaan di rumah selesai. Tetapi yang lebih tendensius, perempuan yang bekerja di luar rumah itu digolongkan sebagai "wanita karier", ambisius, tidak peduli suami dan keluarganya, dan hanya mengejar kepentingan sendiri.
Melalui ragam media, citra perempuan ditampilkan dengan berbagai daya tarik feminitasnya, apakah itu tubuhnya yang langsing, suaranya yang merdu, pakaiannya yang modis dan up to date, serta perilakunya yang mengesankan keanggunan. Kalaupun ditampilkan maskulin, seperti agresif dan kasar serta berpakaian layaknya laki-laki, hal itu akan dianggap sebagai penyimpangan belaka.
Demikian juga, kerapkali bisa dilihat ragam media yang menghidangkan tampilan aktivitas perempuan yang sedang mencuci, mengasuh anak, memasak, serta menyapu dan mengepel rumah dengan penuh keceriaan. Dan jika ditampilkan pekerjaan perempuan di luar rumah, kalaupun tidak diasosiasikan dengan penyimpangan, selalu dikaitkan dengan pengertian konotatif komplementer seperti membantu menambah pendapatan suami atau sekadar mengisi waktu senggang setelah pekerjaan di rumah selesai. Tetapi yang lebih tendensius, perempuan yang bekerja di luar rumah itu digolongkan sebagai "wanita karier", ambisius, tidak peduli suami dan keluarganya, dan hanya mengejar kepentingan sendiri.
Dengan demikian, tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran buku yang berjudul Wanita dan Media Massa karya Hj. Siti Sholihati, MA. ini secara tidak disadari akan memberikan poin yang begitu besar bagi masyarakat untuk meningkatkan kepekaan dan menajamkan sense of gender dalam kehidupan sehari-sehari. Karena itu, terlepas dari adanya kelebihan dan kekurangan atas data dan model analisa yang ditampilkan, buku ini menjadi sangat penting untuk se-segera dikonsumsi minimal dibaca atau barangkali sengaja disodorkan bagi mereka yang haus akan informasi terkait dengan beberapa stereotip yang sering disandang bagi kaum perempuan selama ini.
* Penulis adalah peneliti lepas & pengamat problem sosial-agama dan budaya. Penulis bisa disapa di http://kangmus.tripod.com/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar