21 Maret, 2009

Pernikahan Beda Agama; Haramkah?

Oleh. Mustofa Faqih*

Proses transformasi sosial sebagai sebuah proyek modernitas, akhir-akhir ini mulai dipertanyakan kembali seiring munculnya semangat emansipasi kemanusiaan berikut gerakan spiritualitasnya sebagai kritik terhadap paham modernitas yang cenderung materialistis. Adanya perubahan sosial yang begitu cepat dan deras dewasa ini, mengakibatkan status quo pemahaman mengenai agama (Islam) sebagai ajaran dan pandangan hidup komunitas muslim, dihadapkan pada berbagai persoalan masyarakat yang bercorak multireligius dan multikultural. Keanekaragaman tersebut dalam segala dimensi kehidupan umat manusia, merupakan hal yang niscaya baik dari sisi keaneragaman bahasa, budaya, adat, etika maupun agama.
Itulah mengapa, keberagamaan dalam situasi yang demikian, tentunya akan memiliki makna yang positif jika khazanah fiqih dikembangkan dalam wacana yang lebih kritis, humanis, terbuka serta bisa bersifat dialogis sebagai bentuk konstruksi keislaman untuk mencapai kemaslahatan umat manusia. Artinya, usaha untuk memformulasikan kembali suatu model pemahaman agama (yang asalnya sekedar fiqh oriented menuju fiqh dialogis-humanis di dalam masyarakat multireligius dan multikultural), sangat perlu diperdalam dan ditingkatkan sebagai bentuk tindakan praksis dalam menawarkan solusi atas problematika umat dewasa ini.

Globalisasi telah menyebabkan kian menyempitnya dunia, sehingga seorang yang berbeda agama dan berlainan warga negara untuk melakukan hubungan percintaan akhirnya tidak bisa dicegah. Sebagai manusia normal, tentunya mereka juga berkeinginan melangsungkan hubungan cintanya ke pelaminan guna menemukan legitimasi yang sah menurut agama dan negara, tetapi atas nama agama yang telah didokumentasikan ke dalam kompilasi hukum Islam (KHI) maupun undang-undang yang disahkan oleh negara, ataupun oleh para pemegang otoritas baik otoritas agama maupun negara, (keinginan tersebut) dipandang sebagai perbuatan yang dilarang.

Pernikahan Beda Agama; Sebuah Tantangan

Dengan mengacu pada undang-undang nomor 1 tahun 1974, pasal 2 ayat 1, kompilasi hukum Islam [KHI] yang dikenal sebagai sebagai fikih Indonesia, menganggap bahwa absahnya perkawinan hanya jika diantara keduanya menganut satu agama, khususnya agama Islam. Begitu juga pasal 40 ayat (c), menyatakan bahwa seorang laki-laki muslim tidak diperbolehkan mengawini perempuan yang tidak beragama Islam. Demikian pula sebaliknya, seorang perempuan muslimah dilarang kawin dengan laki-laki non-muslim.

Praktek perkawinan beda agama –disadari maupun tidak- merupakan salah satu problem sosial kemasyarakatan yang telah menjadi realita empirik dengan grafik kuantitasnya yang semakin meninggi. Fenomena tersebut di satu sisi merupakan bagian dari permasalahan yang menuntut akan jawaban hukum Islam, di sisi lain (juga) merupakan problem krusial yang senantiasa meneror sekaligus menuntut jawaban arif bijaksana dari masyarakat beragama. Artinya, satu sisi praktek tersebut selain dilarang oleh hukum negara dan agama, di sisi lain praktek tersebut terus berkembang dan senantiasa bertambah dengan begitu pesatnya dan tentu saja membutuhkan segera atas penyelesaiannya.

Dalam sejarah, ada beberapa contoh dokumen yang bisa kita lihat, sebagaimana contoh, bahwa Jamal Mirdad, seorang artis muslim, menikah dengan Lidya Kandouw, seorang wanita non-muslimah, meskipun demikian, hingga kini mereka nampak harmonis tidak ada persoalan yang berhubungan dengan akidah agama mereka. Begitu juga Yasser Arafat, pemimpin tertinggi Palestina, beristri dengan wanita selain agamanya. Nabi Muhammad Saw sendiri menikah dengan Maria Koptik yang semula beragama non-Islam kemudian menjadi muslimah. Usman bin Affan kawin dengan salah seorang ahli kitab, ada yang beragama Kristen dan ada juga yang Yahudi, pada konteks ketika itu.
Kondisi demikian, menjadi unik untuk dipertanyakan ketika konteks dan situasi kausa (al-‘Illat) awal terhadap larangan nikah beda agama baik di redaksi teks al-Qur’an maupun KHI sudah mulai tidak cocok atau tidak tepat lagi dengan realita yang senantiasa terus berkembang dan berubah. Mungkinkah status quo dari larangan yang ada di redaksi al-Qur’an dan KHI tersebut masih relevan untuk dijadikan pijakan hukum?.

Tak hanya itu yang mungkin harus dijawab, persoalan lain semisal akankah hukum teks [yang berupa instruksi larangan tersebut] juga harus berubah akibat realita yang senantiasa berubah dan mengalami perkembangan?, ataukah teks larangan tersebut harus tetap dan senantiasa diwajibkan eksis menentang realita yang berkembang?. Nah, problem di atas itulah yang menginspirasikan tulisan ini harus dipaparkan sekaligus menjadi tujuan dari penulisan paper ini.

Hukum Redaksi Teks; Kajian Awal

Melakukan ritual pernikahan sejatinya tidak sekedar melakukan tuntutan syariat yaitu dalam rangka melestarikan keturunan dan menjaga nafsu syahwat dari perbuatan zina. Namun lebih dari itu, pernikahan adalah perpaduan dua hati berbeda yang telah menyatu dan bersepakat untuk menjalani kehidupan bersama guna meraih kebahagiaan baik di mata masyarakat maupun di mata keluarga sendiri. Meskipun dalam realitasnya, tidak mesti yang nikah seagama dipastikan mencapai bahagia, karena disebabkan oleh berbagai faktor.

Persatuan keduanya tidak sekedar didasarkan atas ikatan formal semata melainkan kecocokan jiwa, kesatuan hati dan kenyamanan bersama. Itulah mengapa, tak pelak jika pernikahan orang yang tidak didasarkan atas sebuah cinta suci dan sejati, yang terjadi adalah percekcokan yang berakhir perceraian dan kemudian berujung pada usaha menelantarkan (menyia-nyiakan, red) anak-anak sebagai buah hati hasil hubungan keduanya.

Melihat lebih jauh, bahwa syarat utama kehidupan rumah tangga agar harmonis adalah –salah satunya- tidak adanya unsur paksaan dalam pernikahan atas dasar apapun. Akan tetapi permasalahan seperti ini sejatinya menjadi berbeda ketika dihadapkan pada sebuah norma yang dipercaya dan diimani tentang hubungan pernikahan yang tidak dikehendaki oleh agama. Artinya, sangat menjadi persoalan cukup menyentak bagi kedua mempelai yang harus berpisah ketika keyakinan terhadap Tuhannya berbeda, kemudian mereka harus diceraikan. Hal ini sering kali membuat shock bagi mereka. Artinya, hanya karena berbeda agama, kedua mempelai harus berpisah, sementara kedua hatinya masih mencintai yang nampaknya sulit untuk dipisahkan.

Fenomena banyaknya orang yang menikah dengan pasangan beda agama dengan tanpa mengindahkan larangan dan aturan agama, merupakan fenomena yang sudah biasa terjadi. Hal seperti ini, yang dulunya hanya terjadi di kalangan tertentu saja – sebut saja seperti kalangan selebritis - kini telah hampir merata terjadi di semua lapisan masyarakat di Indonesia. Pertanyaannya, masihkah peraturan redaksi teks agama dijalankan?.

Beberapa Teks Normatif; Dalil al-Qur’an

Penulis di sini –sekali lagi- bukan bermaksud meligitimasisi akan boleh atau tidak boleh, sah atau tidak sah, haram atau tidak haram (halal) melakukan pernikahan beda agama, melainkan hanya berusaha untuk melihat ulang redaksi ayat al-Qur’an yang melarang nikah bagi mereka yang berbeda agama. Hal ini dilakukan, karena diasumsikan bahwa larangan perkawinan beda agama, lebih diwarnai oleh budaya, ketimbang otoritas agama murni. Lebih diwarnai situasi lokal temporal, ketimbang situasi formal universal dan lebih diwarnai oleh suasana sosiologis yang antisipatif, ketimbang situasi normatif teologis. Indikator dari hal itu semua, coba kita lihat ulang redaksi ayat al-Qur’an yang melarang nikah bagi mereka yang berbeda agama.

Oleh sebab itulah, persoalan yang muncul kemudian adalah, apakah larangan nikah beda agama yang ada dalam kitab suci al-Qur’an tesebut memang murni otoritas agama, ataukah ada indikasi lain selain dari indikasi otoritas agama, ataukah larangan tersebut bukan murni otoritas agama sama sekali, melainkan ada situasi tertentu yang menjadikan nikah beda agama dilarang waktu itu, ataukah ada indikasi lain selain di atas. Itulah sebabnya untuk pertama kali, perlu dilihat dalil normatif yang sering dijadikan pijakan dari berbagai kalangan. Salah satunya adalah redaksi ayat al-Quran. Tentang hal ini, al-Qur’an menjelaskan dalam surat al-Baqarah, 2:221 yang artinya;

Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrikah sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatinya. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”{al-Baqarah [2]: 221.}

Begitu juga dalam QS. al-Mumtahanah, 60:10 yang artinya:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (al-Mumtahanah: 10)

Asbab an-Nuzul; Potret Semangat Awal al-Qur’an

Dari uraian surat al-Baqarah ayat 221 di atas, mari kita lihat. Dalam lintasan potret sejarah (sabab an-nuzul), ayatt di atas tersebut diturunkan sebagai petunjuk atas permohonan Ibnu Abi Murtsid al-Ghanawi yang meminta izin kepada Nabi SAW untuk menikahi seorang wanita musyrik yang cantik dan terpandang. Dalam riwayat lain, asbab an nuzulnya berkenaan dengan Abdullah bin Rawahah yang mempunyai seorang hamba sahaya yang hitam. Pada suatu waktu ia marah kepadanya, ia menamparnya. Ia menyesali kejadian itu. Karena itulah, ayat tersebut di atas -untuk sementara- bisa dikatakan ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa kawin dengan seorang hamba sahaya yang muslimah, lebih baik dari pada kawin dengan wanita yang musyrik.

Sedangkan surat al-Mumtahanah ayat 10 di atas, dalam sebuah riwayat dikemukakan, bahwa setelah Rasulullah Saw. membuat perjanjian Hudaibiyah dengan kaum kafir Quraisy, datanglah wanita-wanita mukminah dari Mekah, maka turunlah ayat ini yang memerintahkan untuk menguji dulu wanita-wanita yang turut hijrah itu, dan setelah jelas keimanan mereka, tidak boleh dikembalikan ke Makkah.

Dalam riwayat lain dikemukakan, setelah penandatanganan perjanjian Hudaibiyah, Ummu Kaltsum binti ‘Uqbah bin Abi Muaith berhijrah dari Mekah ke Madinah. Kedua saudaranya yang bernama ‘Imarah bin ‘Uqbah dan al-Walid bin ‘Uqbah menyusul Ummu Kaltsum (saudaranya) sehingga sampai ke Nabi Saw. Keduanya meminta agar Ummu Kaltsum diserahkan kembali kepada mereka. Dengan turunnya ayat ini Allah membatalkan perjanjian Rasulullah dengan kaum musyrikin, khusus tentang wanita-wanita, yaitu melarang kaum wanita yang beriman dikembalikan pada kaum musyrikin.

Dalam riwayat lain dikemukakan pula, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kisah Umamah binti Basyar, istri Abu Hasan ad-Dahdahah, yang hijrah dari Mekah ke Madinah setelah perjanjian Hudaibiyah. Sedangkan riwayat lain diinformasikan, bahwa az-Zuhri menghadap Rasulullah yang sedang berada di lembah Hudaibiyah. Pada waktu itu Rasulullah sedang membuat perjanjian Hudaibiyah yang isinya antara lain: “barang siapa yang lari ke Madinah, hendaknya dikembalikan ke Mekah.

Akan tetapi ketika wanita-wanita yang sudah Islam melarikan diri ke pihak mukminin (komunitas beriman), turunlah ayat ini yang melarang mengembalikan mukminah (komunitas wanita beriman) ke Mekah. Ada pula riwayat yang mengemukakan bahwa Umar ibn al-Khaththab telah masuk Islam, akan tetapi istrinya masih mengikuti pihak kaum musyrikin. Maka turunlah ayat ini yang melarang kaum mukminin berpegang pada perkawinan dengan wanita kafir.
***

Melihat kondisi demikian itulah, wajar jika kiranya tidak ada seorang ulama pun yang membolehkan wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim. Bahkan ijma’ ulama menyatakan haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, baik dari kalangan musyrikun (Budha, Hindu, Majusi, Shinto, Kong Hu Chu, Penyembah berhala dan lain-lain) ataupun dari kalangan orang-orang murtad dan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani). Hal ini berdasarkan firman Allah QS al-Mumtahanah ayat 2:10 tersebut.

Di dalam QS. al-Mumtahanah ayat 10 tersebut, sangat jelas bahwa Tuhan menjelaskan atas keberadaan wanita muslimah sangat tidak halal (dinikahi) bagi orang kafir. Diantara alasan pelarangan ini adalah bahwa Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Dan sesungguhnya laki-laki itu memiliki hak qawamah / qiwamah (pengendalian) atas istrinya dan sang istri wajib mentaatinya dalam hal perintah yang ma’ruf (baik). Hal ini berarti mengandung makna perwalian dan kekuasaan atas wanita, sedangkan Allah Swt tidak menjadikan kekuasaan bagi orang kafir terhadap orang muslim atau muslimah. Allah Swt. Berfirman dalan QS an-Nisa’ ayat 141 yang artinya;

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir atas orang-orang mukmin.” (Al-Nisa [4]: 141).

“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman...”(Al-Baqarah, 2:221).

Ahli tafsir Ibnu Katsir dan Imam madzhab asy-Syafi’iy -misalkan- pernah berkata, “Janganlah menikahkan wanita-wanita muslimah dengan orang-orang musyrik.” Begitu juga Imam al-Qurthubiy dalam kitab tafsirnya berkata, “Janganlah menikahkan wanita muslimah dengan orang musyrik. Dan Umat ini telah berijma’ bahwa laki-laki musyrik itu tidak boleh menggauli wanita mukminah, bagaimanapun bentuknya, karena perbuatan itu merupakan penghinaan terhadap Islam.”


Dengan nada yang berbeda namun mempunyai maksuf yang sama, Abu Bakar al-Jaza’iriy berkata “Tidak halal bagi muslimah menikah dengan orang kafir secara mutlak, baik Ahlul Kitab ataupun bukan.” Begitu juga Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Laki-laki kafir tidak halal menikahi wanita muslimah, hal ini berdasarkan firman-Nya pada QS. Al Baqarah ayat 221 tersebut.

Beberapa Asumsi Larangan Nikah Beda Agama

Dalam ayat di dua surat dengan latar kesejarahan (asbab an-nuzul) di atas, sering dijadikan argumentasi normatif dalam menganalisa permasalahan perkawinan beda agama. Dalam ayat tersebut, perkawinan antara orang yang beragama (Islam) dengan yang tidak beragama (ateis, musyrik, ahlul kitab) sangatlah dilarang dalam konteks tertentu. Dalam ayat tersebut, muncul berbagai pemahaman tentang nikah beda agama. Yaitu; pertama, nikahnya laki-laki muslim dengan wanita non-muslimah (ahlul kitab), dan kedua, nikahnya wanita muslimah dengan laaki-laki non-muslim.

Pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslimah (ahlul kitab), menurut kalangan ulama, diperbolehkan. Menjadi persoalan, ketika wanita non-muslimah yang akan dinikahi berpredikat musyrikah (wanita musyrik). Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah wanita ahlul kitab termasuk musyrikah atau bukan?
Dalam problem terma musyrik / musyrikah, ada beberapa kategori. Pertama, bahwa lafadz musyrik / musyrikah mempunyai makna umum, yaitu penyembah berhala, penganut agama Yahudi dan penganut agama Nasrani. Dari persoalan inilah nantinya sebagian dari beberapa ulama’ melarang laki-laki muslim melakukan perjanjian suci (melangsungkan akad nikah) dengan perempuan musyrikah, demikian juga sebaliknya, perempuan muslimah dilarang melakukan perjanjian suci dengan laki-laki musyrik.

Kedua, bahwa lafadz musyrik pada ayat itu, hanya menunjuk pada orang-orang yang tidak mempunyai kitab samawi, sebagaimana penyembah berhala, penganut agama majusi dan orang-orang musyrikin Makkah pada masa Nabi. Sebaliknya, orang-orang yang mempunyai kitab samawi sebagaimana orang-orang ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), boleh dinikahi. Hal ini bisa terjadi, karena tidak semua ahlul kitab adalah jelek dan terus menerus menentang Rasulullah. Sebaliknya, ada ahlul kitab-ahlul kitab lain yang rajin mempelajari ayat-ayat Allah di tengah malam sambil terus menerus beribadah, dengan beriman kepada Allah dan hari akhir serta melakukan perbuatan ma’ruf nahi munkar dan bergegas dalam kebaikan. Beralasan dengan pendapat kedua inilah, tentu saja orang-orang Islam boleh nikah dengan Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani.

Jika demikian, usaha dilarangnya sahabat Rasulullah, Hudzaifah dan Thalhah yang menikahi wanita ahlil kitab oleh ‘Umar bin Khaththab waktu itu, sejatinya merupakan wujud dari usaha Umar bin Khottob untuk mencegah agar sahabat Nabi yang ingin menikahi wanita-wanita musyrikah tidaksemakin banyak. Dalam konteks ini, jelas terlihat bahwa Umar bin Khaththab (pada konteks kondisi saat itu) sangat takut (mencemaskan) terhadap kondisi agama Islam yang masih bayi dan labil ini akan terhambat oleh ulah sederetan sahabat Nabi yang kepingin nikah dengan wanita non-muslimah.

Oleh sebab itulah, sangat jelas bahwa kebijakan Umar bin Khattab berupa larangan menikah dengan wanita non-muslimah, lebih bermuatan sebagai bentuk strategi antisipatif yang bersifat sosiologis, ketimbang bersifat normatif teologis. Thus, larangan nikah beda agama, dalam potret sejarah sahabat waktu itu, bukan murni bersifat teologis normatif, melainkan murni bersifat sosiologis. Hal itu karena kondisi umat Islam saat itu masih labil keyakinannya, masih sedikit massanya dan seringnya umat Islam disakiti (dimusuhi) oleh mereka yang non Islam (kafir qurays) saat itu.

Akan tetapi, sangat baik untuk dimengerti bahwa pada umumnya larangan perkawinan dengan orang-orang musyrik dilatarbelakangi oleh karena sikap mereka (al-musyrikun wal musyrikat) yang cenderung kasar memusuhi orang-orang Islam, sedang bolehnya orang Islam nikah dengan ahli kitab karena mereka (ahlul kitab) bersikap baik dan lunak pada orang orang Islam.

Jadi, kemungkinan besar dilarangnya nikah orang-oras Islam dengan non Islam waktu itu, karena umat non Islam sering memusuhi umat Islam dan umat Islam masih sedikit dan wilayahnya pun belum banyak berkembang. Dalam konteks yang demikian, masyarakat muslim awal sejatinya masih rawan konflik. Konteks yang demikian itu, berbeda dengan konteks saat ini, di mana masyarakat muslim saat ini sudah jauh berkembang dan lebih jauh dari itu masyarakat muslim dan non muslim (saat ini) sudah mulai bisa duduk bersama-sama menjalin kerjasama dalam bermasyarakat, berbisnis, berpolitik dan bernegara. Mereka, baik muslim maupun non muslim, (bahkan) sudah mengakui kehidupan bermasyarakat yang penuh warna dalam konteks keberagamaan yang perlu dijaga dan dilestarikan.

Melihat konteks era masyarakat muslim awal itulah, wajar jika kiranya pernikahan beda agama menjadi sangat dilarang sebagaimana tertera dalam QS al-Baqarah ayat 221 dan pada QS. al-Mumtahanah ayat 10. Namun, dengan melihat konteks saat ini, larangan tersebut menjadi sirna. Itu tentunya karena masyarakat muslim saat ini hidup di era yang multireligius, dan para pelaku baik yang muslim maupun non muslim sudah saling bergandeng tangan, saling bantu membantu dalam konteks berkeadilan sosial. Itulah mengapa, wajar jika dalam konteks yang demikian, ayat al-Qur’an melarang pernikah bagi mereka yang berbeda agama. Jika demikian, maka larangan tersebut murni bersifat sosiologi-psikologi dan bukan bersifat normatif teologis.

Adapun praktek perkawinan antara perempuan muslimah dengan laki laki non- muslim dan Ahli Kitab, menurut berbagai kalangan tidak diperbolehkan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Musthafa al-Maraghi dan Muhammad Ali As-Shabuni. Mereka beralasan bahwa agama Islam adalah agama yang paling tinggi dan tidak boleh diletakkan di bawah agama lain.

Artinya, para ulama’ memberikan sinyal bahwa perempuan muslimah tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki non-muslim yang lebih tinggi. Jika pernikahan dilaksanakan sementara seorang suami lebih tinggi, berarti pernikahan tersebut berusaha menempatkan Islam di bawah agama lain yang dianut laki-laki atau suaminya. Begitu juga menikahkan laki-laki non muslim dengan perempuan muslimah, dipastikan sang istri beserta anak-anaknya akan diajak pindah agama ke no-Islam yang mengakibatkan sang istri dan anaknya menjadi murtad.

Sepintas, larangan-larangan yang diasumsikan oleh Syekh Musthafa al-Maraghi dan Ali As-Shabuni di atas, bukanlah bersifat murni otoritas normatif teologis sebagaimana khalayak publik meyakininya. Namun, ada indikasi lain bahwa larangan yang diungkapkan oleh kedua ulama’ tersebut di atas, lebih bersifat otoritas budaya patriarkhi. Yakni, ketika wanita sudah masuk pada budaya patriarkhi, tentu saja sang istri dipastikan akan dikendalikan oleh sang suami, dan jika demikian yang terjadi maka dimungkinkan pihak sang istri akan terpengaruh oleh akidah sang suami yang non-Islam.


Melihat argumen dari aksioma kedua ulama’ di atas –mungkin juga ulama’ yang lainnya- disinyalir termakan oleh bias subyektivisme budaya patriarkhi. Hal tersebut nantinya, bisa berakibat pada pemaknaan terhadap lafadz nakha dan musyrik, sehingga maknanya tergantung pada kondisi posisi budaya pembaca, baik secara teologis maupun biologis yang sedang mengitarinya.

Oleh sebab itulah, konteks larangan nikah beda agama yang diwacanakan para ahli tafsir di atas tersebut, bukanlah dilatarbelakangi oleh alasan murni normatif teologis, melainkan dilatar belakangi oleh bias pemahaman (verstehen) para ahli tafsir yang sudah terkonstruk oleh budaya Arab yang patriarkhi.

Karena itulah, konsekuensinya bahwa alasan larangan nikah beda agama saat ini, sudah tidah relevan dan tidak “ngonteks” dengan era sekarang, jika alasannya masih tetap sebagaimana paparan di atas. Ini disebabkan oleh karena era saat ini bukan era yang dicirikan dengan kategori biologis-patriarkhi, melainkan dikategorikan dan dicirikan oleh potensi dan profesionalitas, sehingga antara sang suami dan istri secara sosio-kutural diposisikan pada tempat yang sama (egaliterian).

Itulah mengapa, penulis menegaskan bahwa perubahan era atau perubahan zaman, sejatinya harus disikapi juga dengan perubahan hukum. Karena itulah, berubahnya hukum kemungkinan besar bisa menjadi berubah karena disebabkan oleh perbahannya zaman, تغيرالاحكام بتغيرالزمان . Begitu juga Tuhan, tidak pernah membeda-bedakan dan menempatkan beda terhadap manusia disebabkan label keyakinan ataupun agama, melainkan Tuhan hanya membedakan manusia dalam tingkat tataran moral umum, yakni taqwa.

Penutup

Setelah melihat dan membaca struktur internal dan situasi historis dari teks Qur’an yang sering dijadikan aksioma normatif (hujjat al-diniyyah) oleh beberapa kalangan ulama’ atas dilarangnya nikah bagi mereka yang berbeda agama, ditemukan indikasi lain (al-maghza) bahwa ternyata larangan tersebut bukanlah berdasarkan atas murni otoritas agama (normatif-teologis) yang universal, melainkan bersifat murni sosiologis-psikologis.

Begitu pula, larangan yang tertera dalam al-Qur’an tersebut lebih bermuatan sebagai bentuk strategi antisipatif yang bersifat sosiologis, ketimbang bersifat normatif teologis. Karena itulah, penafsiran larangan nikah beda agama oleh sebagian ulama’ cenderung terjebak pada pola pikir yang terkonstruk oleh bias budaya patriarkhi. Dengan demikian, larangan nikah beda agama secara otomatis, sangat bersifat lokal temporal.
Hal tersebut diyakini, karena disebabkan oleh selain tidak ditemukannya alasan dan bukti konkrit empirik bahwa larangan tersebut murni normatif teologis dari kondisi historisnya, ada konstruk aksioma lain yang bisa dibaca bahwa larangan nikah beda agama –aslinya- diwujudkan selain satu sisi sebagai bentuk strategi menciptakan fanatisme kelompok dalam komunitas umat Islam yang masih labil, di sisi lain sesungguhnya untuk mendongkrak dan sekaligus mengangkat strata sosial umat Islam dari kaum jahili pada waktu itu. Sehingga dalam situasi yang masih dalam masa perjuangan, umat Islam diharapkan benar-benar kuat dan mampu menghadapi musuh yang menyerangnya, di samping untuk memperbanyak pengikutnya.

Karena itulah, ayat yang sering dijadikan pijakan dan dalih untuk melarang nikah beda agama dengan berbagai alasan apapun di atas, dilihat dari sisi semangat awal dalam konteks sosio-historis diturunkannya ayat tersebut, ditemukan jawaban bahwa semangat makna redaksi al-Qur’an sudah tidak pas dan tidak kontekstual dengan era sekarang.


Oleh sebab itu, hukum dari ayat yang menerangkan dilarangnya nikah beda agama, pada era ini perlu untuk dipending dan “diparkirkan” sejenak, demi kenyamanan bersama dalam menyambut era masyarakat yang multikultural dan multireligius dalam menciptakan dan membangun bangsa yang adil dan beradab. Walhasil, mendudukkan pemahaman sosiologis psikologis terhadap ayat larangan nikah beda agama di atas, merupakan wujud konkret dalam upaya meletakkan nilai-nilai ayat al-Qur’an agar bisa lebih kontekstual dalam dirinya dan konteks dengan "anak zaman" sampai kapan dan di manapun berada.@ Wallahu a’lamu.


* Penulis adalah peneliti lepas & pengamat problem sosial-agama dan budaya. Penulis bisa disapa di http://kangmus.tripod.com/.

Tidak ada komentar: