17 Maret, 2009

Islam Indonesia; Kontribusi Kemerdekaan

Oleh. Mustofa Faqih. *
Krisis politik di Indonesia yang diyakini bersumber dari dampak utama (the prominent effect) adanya krisis ekonomi semenjak pertenganan Juli 1997, merupakan awal dominasi penyebab lengsernya rezim Orde Baru. Namun anehnya saat itu, kondisi krisis ekonomi dan semakin amburadulnya tatanan demokrasi pemerintahan yang ada, masih saja MPR dan kekuatan politik yang ada memberanikan diri mancalonkan Soeharto yang sudah jelas banyak ditentang masyarakat luas.
Maka tak ayal jika massa mahasiswa yang terus ‘mengamuk’ berdatangan dari berbagai kelompok antara tanggal 18-20 Mei 1998 berhasil memaksa pimpinan DPR dan staf-stafnya untuk mengambil sikap atas tuntutan reformasi. Selepas kondisi jatuhnya rezim Orde Baru, proses demokratisasi di segala bidang mulai dijalankan demi tercapainya cita-cita masyarakat Indonesia.

Membuka file itu, tentu saja mengingatkan kita pada kondisi peta Islam di Indonesia yang –saat itu dan sesudahnya- telah banyak memberikan kontribusi atas wujudnya transformasi sosial dan berlakunya sebuah proses demokratisasi yang sedang melangkah sedikit demi sedikit di Indonesia. Melihat hal itu, maka tak terbantahkan, bahwa Islam di Indonesia, sejatinya juga telah memberikan kontribusi atas hadirnya proses iklim demokratisasi pasca jatuhnya rezim otoriter Soeharto. Kontribusi tersebut bisa dicermati cukup dengan dua sisi pandangan. Pertama adalah pandangan dari sisi normatif dan yang kedua adalah dari sisi praktis-historis.

Pertama, bisa terlihat dari sisi cita-cita normatif. Maksudnya adalah, bahwa Islam sebagai sebuah agama, sesungguhnya telah meletakkan beberapa dasar prinsip demokrasi dalam beberapa ajarannya seperti; shura (permusyawaratan), al-‘adalah (keadilan), ijma’ (konsensus), ijtihad (kemerdekaan berpikir), tasamuh (tolerensi), al-hurriyah (kebebasan), al-musawah (egalitarian), ash-shidqu wal amanah (kejujuran dan tanggung jawab). Prinsip-prinsip tersebut, sebetulnya merupakan inti semangat makna demokrasi dan tentu hal itu bisa dibaca pada kitab al-Qur’an.

Meskipun al-Qur’an tidak menyebut suatu bentuk dan sistem ketata-negaraan secara sharih, tatanan sistem demokrasi yang [saat itu dan sekarang] menjadi primadona bentuk demokrasi negara-negara di dunia, memiliki titik temu dan relevansi kuat untuk mengegolkan proses demokrasi di segala aspek kehidupan. Dengan demikian, dalam Islam sebetulnya telah tertanam beberapa prinsip pokok dan tata nilai berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan bernegara untuk menunjang lajunya proses demokrasi.
Kedua, adalah dari sisi praktis-historis. Maksudnya adalah, bahwa selain Islam di Indonesia telah meletakkan prinsip-prinsip demokrasi, dalam prakteknya Islam juga –ternyata- telah membuktikan nilai-nilai tersebut. Dalam sejarah (historis) di Indonesia, para pemimpin Muslim yang mewakili mayoritas bangsa, telah memainkan peran penting dalam menentukan reformasi sosial dan politik. Bila pada Orde Lama -terlihat- para pemimpin Muslim berperan melalui Masyumi, maka pada pasca lengsernya Orde Baru, dua organisasi Islam terbesar NU dan Muhammadiyah secara proaktif terlibat langsung dalam proses perubahan kepemimpinan untuk membangun sistem demokrasi di Indonesia.

Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Amin Rais yang dikenal sebagai pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, diakui merupakan tokoh penting dan sangat vital di dalam prosesi penumbangan rezim Soeharto dan mereka cukup dikenal juga sebagai tokoh yang gandrung akan tegaknya proses dan sistem demokrasi di Indonesia. Kekuatan dan karisma yang dimiliki keduanya, tentu juga telah di-show-kan lewat masing-masing kebesaran massa organisasinya, NU dan Muhammadiyah. Turut terlibatnya mereka, sebagai pemimpin partai Islam, dalam menegakkan cita-cita demokrasi di bumi pertiwi Indonesia, merupakan bukti kongkrit bahwa cita-cita Islam sejatinya sangatlah mendukung atas berjalannya proses demokratisasi untuk menciptakan -salah satunya- masyarakat madani .
Amin Rais bersama organisasi Muhammadiyahnya yang berjumlah 28.000.000 anggota berikut dengan berjuta-juta simpatisanya, sering terlihat dalam media menjadi tokoh central penting dalam arus perkembangan politik pasca rezim Soeharto dalam menyuarakan jargon-jargon demokrasi baik dalam ranah sosial, politik, ekonomi maupun budaya.

Muhammadiyyah dan Amin Rais, sebagai organisasi masyarakat dan Ketuanya, tidak hanya bertujuan “to up-hold and to up-lift the religion of Islam so as to create the true Islamic society” saja melainkan lebih dari itu, sepak terjang Ketua PP. Muhammadiyah saat itu, sangatlah ketara ketika terlibat langsung dalam proses perubahan kepemimpinan nasional pada Mei 1998.

Pada waktu yang sama dengan momen yang berbeda, Gus Dur dengan NU-nya, juga turut diacungi jempol dalam gerakannya yang pelan tapi pasti, di dalam menumbuhkan sikap demokarasi di Indonesia. Sejak NU memutuskan kembali ke khithah 1926 pada Muktamar NU ke-27 tahun 1984 sampai peristiwa lengsernya rezim otoriter Orde Baru tahun 1998, gerakannya hanya dipusatkan pada transformasi sosial-ekonomi.

Dalam hal ini, NU sebagai Jam’iyyah Diniyyah Ijtima’iyyah, menegaskan keseluruh anggota dan simpatisannya untuk tidak terbuai dalam kekuasaan yang korup, nepotis, dan manipulatif (KKN). Di saat warga bangsa gila harta, jabatan, dan kursi kekuasaan, NU di era reformasi dengan tenangnya menata barisan untuk merumuskan pesan-pesan moralitas politik. Karena itulah, kasus Muktamar NU ke-29 di Cipasung, bisa dilihat sebagai contoh bahwa organisasi NU sangatlah concern terhadap demokratisasi bangsa dan negara. Dengan menanamkan sikap-sikap di atas dalam menghadapi situasi negara dan bangsa yang hampir kolep, tentunya NU telah memberikan kontribusi besar kepada bangsa dan negara dalam penegakan demokrasi di Indonesia.

Ditambah lagi dengan langkah-langkah Gus Dur dalam mengaktualisasikan demokratisasi dan penegakan HAM diberbagai persoalan bangsa, begitu pula taqrir baru para Kyai dalam membangun partai kebangkitan bangsa [PKB] yang berformat sangat inklusif, populis, moderat dan humanis, tentu saja menambah starting point bahwa Islam di Indonesia berpotensi untuk menumbuh-kembangkan sikap demokrasi. Artinya, sudah sangat klop-lah bahwa Islam di Indonesia –sangatlah- berperan dan berpotensi menumbuhkan sikap-sikap demokrasi dilihat dari karakter normatif dan praksis-historisnya.

* Penulis adalah peneliti lepas & pengamat problem sosial-agama dan budaya. Penulis bisa disapa di http://kangmus.tripod.com/

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Salam kenal, nama saya Anton. Membaca artikel bapak Mustofa Faqih, mengingatkan saya pada mendiang Cak Nur. Akan tetapi bukan mengingatkan apakah bapak Mustofa Faqih ini memiliki cara pandang yang sama, melainkan keberaniannya yg sama. Selamat berjuang.

Anton

MUSTOFA FAQIH mengatakan...

Terima kasih Bapak Anton, wacana Islam Indonesia memang penting utk dikaji bahkan penting utk dipraktekan dlm kehidupan sehari-hari. Anehnya saat ini, tidak sedikit warga Muslim Indonesia yg mempraktekkan wajah Islam negara Arab di negara Indonesia. Tentu terlihat banyak kejanggalan, Indonesia penting membikin RUU dalam konteks menampilkan wajah Islam Indonesia. Budaya Indonesia sering dilupakan bahkan terkesan dihancurkan pelan-pelan dg beralasan aqidah. Padahal aqidah pada dasarnya adalah sangat bebas dg ruang dan waktu. Hal itu yg menjadikan Indonesia semakin terpuruk. Selamat berjuang