Menguak Potensi Kesaktian Nusantara
Ada 3 point alasan penting mengapa dulu penulis pernah tertarik –sempat menguraikan ketertarikan ini- untuk memilih mengikuti program studi lanjut (S2) konsentrasi Tahqiq al-Kutub yang telah dibuka Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam DEPAG RI bekerjasama dengan Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2008/2009. D

Apa lagi jika diperhatikan lebih lanjut, wilayah Nusantara pada dasarnya kaya akan khazanah intelektual yang bernuansa lokal dan tentu saja unik dan menarik. Perhatikan saja, kitab-kitab klasik seperti; Kitab Serat Bima Suci, Serat Babad Giyanti, Serat Cebolek, Serat Dewa Ruci, Serat Tajussalatin, Serat Ambiya', Serat Menak, Serat Panitisastra dan Serat Centini serta Serat-Serat yang lain.
Beberapa serat tersebut secara historis – filosofik - hermeneutik, menampilkan apa yang disebut sebagai rahasia gugusan ilmu ke-Tuhanan yang dalam konteks pembacaan epistemologi-filologik memiliki aura keilmuan klasik (kuno) yang sangat dahsyat. Itulah mengapa sedari tadi naskap atau manuskrip baik berupa serat maupun kitab-kitab yang dimiliki ulama' Islam Jawa Nusantara –dikatakan- menjadi penting untuk dijaga atau bahkan dikaji dan diteliti sebelum Negara lain misalkan Belanda mengambil alih untuk direbut dan dimuseumkan ke dalam perpustakaannya.
Kedua, setelah kitab-kitab atau turats tersebut dijaga oleh Negara yang mungkin dalam konteks ini bisa ditangani oleh institusi tertentu misalkan institusi DEPAG atau Depart

Pengkajian dalam konteks ini adalah dibarengi dengan melakukan tindakan pemahaman bersama melalui instrument variabel epistemologi yang jelas guna dapat dijadikan sebagai solusi problem kekinian. Turats-turats tertentu yang tersebar di berbagai daerah di belahan bumi Nusantara dari Sabang sampai Merauke tersebut, pada hakikatnya juga tidak hanya membawa wacana keilmuan yang unik namun juga mencerminkan spesifikasi problem sosial Nusantara di zaman awal. Tentu subtansi analisa keilmuannya berbeda dengan saat ini bahkan mungkin lebih tajam ketimbangan era sekarang.
Misalkan saja, discovery naskah atau manuskrip tertentu dalam lokal daerah tertentu, dimungkinkan akan menampilkan subtansi pemecahan problem sosial, agama, budaya dan politik yang berbeda dengan naskah atau manuskrip lokal daerah yang berbeda. Contoh konkritnya adalah, Syeh Ahmad Mutamakkin –misalkan- dalam kitab yang telah ditulisnya, akan menampilkan menu subtansi analisa tampilan yang berbeda dengan ulama' sezamannya.
Hal itu salah satunya disebabkan karena antara Syeh Ahmad Mutamakkin (1645-1740) dengan ulama' lainnya -meskipun dalam satu era- menghadapi problem sosial, agama budaya dan politik yang berbeda. Polemik dan kajian keilmuan ini bisa diketahui jika naskah atau manuskrip Syeh Ahmad Mutamakkin tersebut dikaji melalui seperangkat rumusan variabel metodologi keilmuan aksiomatik yang nantinya baru bisa didapatkan melalui program Tahqiq al-Kutub ini.
Ketiga, setelah langkah yang kedua itu dilakukan, langkah berikutnya adalah bahwa dalam melakukan pengkajian dan penelitian tersebut, seorang santri –menurut prediksi kami- akan menemukan wacana keilmuan yang sangat bervariatif. Manuskrip satu dengan manuskrip lainnya, memiliki wacana keilmuan yang berbeda. Wacana keilmuan yang ada di daerah lokal Purworejo misalkan, akan berbeda discoverinya dengan wacana keilmuan yang ada di daerah lokal Pati.
Begitu juga discourse keilmuan yang ada di turats era kerajaan Mataram, akan berbeda dengan yang ada di kerajaan Pajang. Itulah mengapa, khazanah peninggalan ulama' Nusantara berupa naskah dan manuskrip kuno tersebut, tidak cukup dikaji dan diteliti hanya dalam kerangka kedaerahannya, akan tetapi juga harus dikaji dan diteliti sebagai satu kajian bidang ilmiah.
Artinya, seorang santri, kiyai, ustadz atau ustdzah yang akan mengikuti program ko

Itu semua menjadi penting karena perkembangan studi keislaman (Islamic Studies) di era atau abad ke-18 telah mengalami perkembangan yang berbeda dengan studi keislaman (Islamic Studies) abad 19 dan 20. Begitu pula, studi keislaman (Islamic Studies) tahun 30-an tentu saja berbeda dengan tahun 90-an atau 2000-an. Hal itu jelas sangat bisa terdeteksi ketika isi naskah/manuskrip yang akan dikaji berdasarkan atau mengacu pada seperangkat metodologi kajian yang tepat. Tepat dalam hal ini adalah sesuai dan cocok dengan seperangkat metodologi keilmuan serta ada naungan follow up untuk berniat melakukan kajian dan penelitian serius terhadap naskah-naskah kuno peninggalan ulama' nusantara tersebut.
Artinya, dengan adanya program konsentrasi tahqiq al-kutub ini, kader ulama' santri Nusantara akan mampu napak tilas atau setidaknya memahami semangat keilmuan ulama' nusantara zaman dulu untuk tidak hanya dikaji dalam kerangka kepentingan ilmiah an sich akan tetapi juga dalam kerangka memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa (nation building). Itulah mengapa, peninggalan naskah dan manuskrip daerah di berbagai pelosok bumi Nusantara yang terkesan "terlantar tidak diperhatikan" menjadi penting dan menarik untuk segera diperhatikan.
Dalam kapasitasnya yang demikian itu, seorang santri setelah mengikuti program Tahqiq al-Kutub ini akan menyadari sebagai kesadaran puncak bahwa Tuhan ternyata memberikan ilmu di dunia ini secara integral dan sistemik. Tuhan telah menurunkan ilmu-Nya dengan cara dipecah dan disebar di berbagai zaman dari era tertentu ke era berikutnya, dari daerah tertentu ke daerah tertentu pula melawati perwakilan tangan-tangan dan otak cerdas yang produktif yang kemudian terdokumentasikan dalam berbagai kitab yang saat ini dikenal sebagai manuskrip atau naskah kuno.

Karena itulah, dengan menjaga, mengkaji dan meneliti naskah-naskah kuno tersebut, setidaknya akan berguna untuk mengurai persoalan bangsa baik di bidang sejarah, sosiologi, adat istiadat, hukum, perkembangan agama, perkembanagan bahasa dan lain sebagainya.
Walhasil, tiga point di atas itulah, menjadikan alasan mengapa penulis sempat berminat –meskipun saat itu tidak lolos seleksi- untuk mengikuti ujian pandaftaran studi lanjut (S2) di PPS UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta konsentrasi Tahqiq al-Kutub 2008 yang bekerjasama dengan
Meskipun penulis saat itu tidak lolos seleksi, namun harapan penulis semoga saja program konsentrasi Tahqiq al-Kutub tersebut mampu berjalan dengan lancar dan baik dalam kerangka mengembangkan pola pikir santri menjadi sosok alim ulama' yang cerdas secara metodologik-aplikatif untuk mencari dan mengembangkan kajian Islam
Akhir kata yang bisa saya ucapkan kepada mereka yang sempat lolos dan saat ini mendapatkan beasiswa S2 di PPS UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta konsentrasi Tahqiq al-Kutub 2008, adalah Bravo…!!, lanjutkan bro, tingkatkan idealismemu untuk mempetakan sejarah Nusantara via manuskrip-manuskrip klasik itu sebelum pihak asing mengucurkan dana guna menggali peta potensi Nusantara yang sakti mandraguna itu. Segera bro…!!, ayo bro…!!, dapatkan kesaktian kepulauan Nusantara itu lewat menuskripnya, kaji terus bro…!!, bentar lagi ente jadi sakti. Ini rahasia Bro…!!, hahahaha. Salam, Kangmus.
Kamis Kliwon, 29 Oktober 2009.
*. Mustofa Faqih
1 komentar:
Matur suwun pak Yai kangmus, panjenengan sampun membika' ranah pikiran saya dan rencang2 saya menjadi lebih tajam dalam berfikir. Ne' mboten keberatan, kawulo lan konco2 kepingin kepanggih jenengan, niki penting terkait kalih pentingnya penjagaan naskah nusantara. Matur suwun, Maulana, Magelang Jateng.
Posting Komentar