20 Maret, 2010

AJARAN TASAWUF TERANCAM GAGAL:
(Analisa Awal Kangmus)

Oleh. Mustofa Faqih.*

Bukan hal yang mudah bagi perempuan untuk menjadi seorang mursyid dalam kelompok spiritualitas tertentu, menjadi realita menarik untuk direnungkan. Bayangkan saja, sekian panjang deretan daftar nama mursyid (guru sufi, red) dalam sejarah sufisme adalah laki-laki. Jarang di antara mursyid yang ditempati oleh kaum perempuan. Apakah karena terkesan lemah, apakah karena terkesan lembek atau terkesan tidak "kuat", lalu kaum perempuan jarang ditempatkan atau diposisikan sebagai mursyid?. Hal itu selayaknya menjadi perenungan bersama.

Sadar atau tidak, sengaja atau tidak kita dituntut untuk mau menyadari persoalan yang pada dasarnya akan membodohkan jiwa-jiwa para spiritualis (sufi) dewasa ini. Realita tersebut secara kongkrit menambah persoalan baru dalam kajian spiritualitas. Persoalan yang tidak hanya menyulitkan ditumbuhkannya sistem keadilan di berbagai aspek kehidupan, namun juga persoalan yang akan menambah deretan panjang "dosa" laki-laki atas perlakuan selama ini kepada mahluk Tuhan yang beridentitas perempuan.

Kata spiritualitas, pada hakikatnya tidaklah diwakili atau mewakili satu golongan kelamin tertentu, misalkan laki-laki atau perempuan an sich. Akan tetapi, kata tersebut mempunyai kebesaran universalitas ruang lingkup, yaitu untuk laki-laki maupun perempuan. Ruang lingkup yang sangat luas dan tidak dibatasi sebatas ruang lingkup laki-laki semata. Akan tetapi dewasa ini, ruang lingkup universalitas spiritual itu terkesan disempitkan maknanya pada golongan laki-laki saja. Padahal, jika direnungkan kembali, perempuan juga memiliki hak berspiritualitas yang sama dengan laki-laki.

Begitu juga dalam hal kepemimpinan spiritualitas, di antara mursyid-mursyid tasawuf yang berstatus perempuan jarang sekali bisa ditemukan. Permasalahannya adalah, apakah spiritualitas murni harus hadir dari hamba laki-laki, atau, mengapa kapasitas kepemimpinan spiritualitas selama ini terkesan menjadi hak prerogratif laki-laki?. Tidak bolehkah, kaum perempuan memimpin sebuah golongan spiritualitas tertentu misalkan golongan tasawuf Naqsabandi (yah), atau tasawuf Qodiri (yah)?

Persoalan tersebut, tentunya menjadi problem menarik untuk diturunkannya artikel ini. Paling tidak, semangat spirit ketuhanan kaum perempuan layak untuk diperhatikan minimal diakui di antara hamba-hamba Tuhan lainnya. Dengan kondisi dan situasi seperti ini, tentu hak prerogatif laki-laki dalam memimpin golongan spiritualitas sebuah komunitas tasawuf patut untuk diperbincangkan kembali, alih-alih untuk mempertimbangkan dan menguak rahasia spiritualitas perempuan.
***

Gagalnya Misi Tasawuf: Awal Analisa KANGMUS
Spiritualitas, sebagaimana terurai di atas tadi, tentunya membawa tumpukan problem baru atas "kepincangan" konsep spiritualitas itu sendiri. Spiritualitas yang seharusnya netral dari golongan status kelamin tertentu menjadi bias gender karena ada indikasi penindasan atas hak asasi perempuan. Perempuan selalu dikalahkan, perempuan selalu dinomor duakan, perempuan selalu dianggap lemah, ternyata bukan saja terjadi di sektor luar non-spiritual, namun juga terjadi pada wilayah spiritual. Hal itu tampak di antaranya pada sedikit atau jarangnya pemimpin tarekat yang berstatus perempuan.

Bisa dirasakan, sekian panjang daftar mursyid (guru sufi, red) dalam sejarah sufisme adalah laki-laki. Nyaris sulit untuk mencari nama seorang mursyid dari kalangan perempuan, terkesan menjadi momok perbincangan pemerhati spiritual dewasa ini. Tentunya hal ini menjadi sebuah pertanyaan. Spiritualiatas yang sangat ketat sekali hubungannya dengan Tuhan, menjadi ikut-ikutan terkena bias budaya patriarkhisme.

Kesucian spiritual yang diagungkan dan "disembah", menjadi terkesan hilang martabatnya ketika dalam prakteknya terkesan mengebiri dan memalingkan martabat kaum perempuan dalam proses mengisi kedudukan menjadi pemimpin dalam hal ber-spiritual. Maka tak aneh jika kemudian jarang sekali pemimpin dalam sebuan tarekat tertentu diduduki oleh perempuan.

Pertanyaannya adalah mengapa, dalam bingkai kesucian spiritual, budaya patriarkhisme masih bercokol, "eksis tersenyum" dan masih saja diimani dan diberi ruang?. Jawabannya mungkin terletak pada sejauhmana kedalaman ilmu seorang sufi itu sendiri. Masih ada rasa untuk minta dihormati, masih saja ada rasa untuk ingin menjadi pemimpin tertinggi dalam sektor keimanan kepada Tuhan, tentunya dapat menjadi memperlambat atau paling tidak menghambat proses penaikan kepada maqamat yang tertinggi. Apalagi sikap yang demikian pada akhirnya menjadikan kaum perempuan menjadi korban spiritual.

Fenomena demikian, menjadikan tumpukan pertanyaan yang bisa ditujukan kepada praktek ini menjadi semakin menumpuk dan tentu saja pertanyaan yang sedikit terkesan negatif (jelek, red). Problem yang demikian ini, penting sekali untuk dicermati bagi pelaku ilmu ketarekatan, baik yang bersanad pada jalur Abu Bakar as-Shidiq maupun Sayyidina Ali Bin Abi Thalib, Qadiriyyah dan Naqsabandiyah.

Kedalaman ajaran spiritual, ajaran tarekat, atau ajaran kesufian, tidaklah mengenal atas apa yang disebut sebagai gender spirituil, ketimpangan sosial atas problem kelamin. Mungkin terdengar lucu, akan tetapi praktek lapangannya tidak bisa dipungkiri, para "pejabat" tarekat apapun namanya jarang sekali ditemukan mursyidnya berstatus perempuan, kalaupun ada bisa dihitung.

Apakah memang demikian, bahwa seorang pemimpin dalam sebuah golongan spiritual, tasawuf atau tarekat harus berstatus laki-laki?. Apakah ada ajaran tasawuf yang mengatakan bahwa seorang mursyid harus laki-laki?. Atau apakah ini karena jarang disadari ada nabi yang berstatus perempuan atau apakah ini merupakan ajaran kedalaman sebuah tarekat?. Tentu saja pertanyaan tersebut bisa dikembangkan lebih luas lagi dalam kaitannya dengan mempertajam keilmuan Tuhan yang sangat netral, sangat suci, dan sangat adil. Meskipun demikian, problem konstruk sosial patriarkhi dicurigai masuk dalam wilayah kajian mengenai ketarekatan di mana banyak di dalamnya dikaji ilmu Tuhan.

Keadilan ilmu Tuhan pada dasarnya sangat halus (latif) dan bisa dinikmati oleh segala hambanya, baik laki maupun perempuan. Tidak ada batas atau sekat yang menjadikan penghalang ilmu Tuhan untuk bisa dinikmati oleh hambanya. Selagi ilmu itu bermanfaat, bermaslahah, dan berguna bagi sesama mahluk untuk bisa menghambakan diri kepada Tuhan, tidak ada salahnya jika tapuk kepimimpinan ketarekatan diduduki oleh kaum perempuan.

Untuk menghambakan diri kepada Tuhan, tidak ada batas kelamin tertentu. Tuhan tidak milah-milih, dalam menerima penghambaan hamba kepada-Nya. Hanya yang berhati bersih, tulus dan ikhlas, dapat menjadi peluang untuk kemungkinan besar diterima di sisi-Nya. Bukan atau tidak harus berkelamin laki-laki an sich untuk bisa berdekat kepada Tuhan. Tuhan sangat sayang pada seluruh hamba-Nya, tidak dibatasi yang berkelamin laki-laki saja.

Kesayangan Tuhan melebihi simbol-simbol kelamin. Kelamin diciptakan pada dasarnya untuk menciptakan peradaban baru, dan bukan untuk menjadi penghalang beribadah kepada Tuhan. Firman Tuhan tidak ada yang secara eksplisit maupun implisit mengajarkan bahwa laki-lakilah yang mampu menjadi seorang hamba yang dekat kepada-Nya. Tuhan sebagai pencipta mahluknya, dikatakan dalam sebuah ayat al-Qur'an, sangat dekat (fainni qarib) terhadap hambanya. Karena itu apa yang diminta kepada-Nya, tidak harus laki-laki atau perempuan, pasti dikabulkan oleh-Nya. Dengan demikian, dikabulkannya do'a seorang hamba tidak tersekat oleh status kelamin.

Hal Itu membuktikan bahwa spiritual pada hakikatnya bukan milik para kaum laki-laki saja. Dzunnun al-Misri (796-861 M), tokoh sufi di Mesir, mendefinisikan konsep pendekatan diri kepada Allah yang disebutnya sebagai "ma'rifat" tidaklah didefinisikan atau diperuntukkan kepada laki-laki saja. Ma'rifat yang didefinisikan sebagai bentuk mengetahui Tuhan sedekat-dekatnya dengan hati sanubari tersebut, tidak harus diperuntukan bagi kaum laki-laki saja melainkan untuk perempuan juga.

Dalam tasawuf, ma'rifat terkadang dipandang sebagai maqam dan terkadang sebagai hal (keadaan) (Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Menurut Dzunnun al-Misri, bahwa ma'rifah yang haqiqi bukan pengetahuan tauhid yang dimiliki oleh semua orang mukmin dan bukan pula pengetahuan yang berdasarkan argumentasi dan penjelasan seperti yang dimiliki para filosuf, pujangga dan ulama', tetapi ma'rifat adalah pengetahuan tentang sifat-sifat kekuasaan Tuhan, yang dimiliki oleh para wali Allah yang memandang Tuhan dengan hati. Baik itu adalah hati hamba perempuan maupun laki-laki.

Berbeda dengan konsep Abu Mughsy al-Hussein bin Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang mengemukakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Namun, dipilah-pilihnya bukan karena status laki-laki atau perempuan, melainkan sifat nasut (sifat kemanusian) yang ada pada hamba baik perempuan maupun laki-laki ketika telah dilenyapkan sifat kemanusiaannya.

Agar manusia, sang hamba, dapat bersatu dengan Tuhan, terlebih dahulu manusia harus menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya yaitu fana'. Kalau sifat kemanusiaan (nasut) itu telah hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan (lahut), maka disitulah Tuhan mulai dapat mengambil dalam dirinya, ketika itulah "roh Tuhan dan manusia" bersatu dalam tubuh manusia. Tentu dalam hal ini, sebagaimana dijelaskan di atas, tidak dibedakan apakah sang hamba berstatus laki-laki maupun perempuan.

Akan tetapi, menjadi bermasalah ketika siklus rihlah seorang sufi, terlihat mengedepankan unsur kelaki-lakiannya dalam memperoleh derajat di hadapan Tuhan dengan mengorbankan eksistensi hamba Tuhan lainnya yang bernama perempuan. Sangat tragis bahkan mengerikan tatkala "derajat keimanan" hamba dalam upayanya menghambakan diri ke Tuhan harus saling sikut-menyingkut, yang hanya akan bermuara pada persoalan dia (perempuan tidak suci) dan kita (laki-laki adalah suci).

Perempuan, merupakan bagian dari eksistensi komunitas basyari (insani). Kaitannya dengan kaum masculine, dia adalah sebagai ibu dari sufi-sufi termasyhur di dunia. Kehidupan masyarakat basyari, tidak akan ada tanpa keduanya. Keduanya memikul beban kebangkitan bersama sesuai dengan fitrah yang telah Allah swt ciptakan dengan petunjuk bimbigan samawi.

Pada masa jahiliyyah, kondisi perempuan sangat terpojokkan, hak-haknya dirampas, dan pandangan terhadapnya sangat mendiskreditkan, hingga datang Islam membebaskannya dari kezaliman jahiliyyah, mengembalikan dan memuliakannya sebagai insan, wanita, anak, ibu, dan anggota masyarakat. Namun, meskipun demikian, tetap saja nuansa memarginalisasikan kaum perempuan terasa bahkan telah menjadi bias di berbagai produk ajaran Islam yang ada, termasuk di dalam ajaran tarekat.

Padahal perempuan juga berhak memperoleh pahala sebagaimana laki-lakinya. Hal ini telah disingggung Allah swt dalam al-Qur’an al-karim;

Barang siap beramal saleh dari kalangan lelaki dan wanita sedang beriman, maka kami akan memberinya kehidupan yang baik dan mengganjarnya dengan pahala yang baik pula bagi apa yang mereka lakukan (QS. Al-Nahl; 97).

Lalu Tuhan mereka menjawab permohonannya; sesungguhnya saya tidak akan menyianyiakan amal saleh dari kalian baik dari laki-laki maupun wanita, kalian adalah bagian dari yang lain (QS. Ali Imran; 195)

Perempuan sebagaimana djelaskan pada ayat di atas, merupakan bagian dari laki-laki, begitu juga sebaliknya. Artinya, keduanya saling melengkapi, bukan sebagai musuh atau dua jenis yang mesti dipertentangkan. Sebagaimana firman Tuhan;

Laki-laki mukmin dan wanita mukminat sebagian sebagai pelindung bagi yang lain, mereka (saling) menyuruh berbuat kebajikan dan melarang perbuatan mungkar (QS al-Taubah; 71).
***

Akhirnya, praktek ketarekatan tasawuf yang demikian itu, di mana posisi perempuan dimarjinalkan, menjadikan DISIPLIN ILMU TASAWUF TERKESAN GAGAL. Produk ajaran yang masih setia atas UNSUR PATRIARKHISME, menurut analisa Kangmus, lambat laun akan ditinggalkan oleh Jamaahnya. Karena, ajaran spiritual tidaklah mengenal status perempuan dan laki-laki. Ketika dalam dataran praktek ritual tarekat masih mengedepankan sikap patrimonial, tentu saja cara bertasawuf yang demikian itu, menurut analisa Kangmus, akan TERANCAM GAGAL. Cara tasawuf yang baik MENURUT KANGMUS adalah, BERLAKULAH ADIL dalam memilih pemimpin tarekat tasawuf. Seorang PEMIMPIN TAREKAT tasawuf, tidak harus selalu dijabat oleh lakil-laki. ALLAH MAHA ADIL, maka berlakulah yang ADIL.

*. Penulis, adalah Analis Kehidupan, Tinggal di Yogyakarta.

Tidak ada komentar: