Oleh. Mustofa Faqih
Persoalan tentang peran historisitas Islam terhadap tumbuh kembangnya proses demokratisasi di Indonesia, pada dasarnya tidak terlepas dari persoalan historisitas politik, sosial, dan keagamaan. Ketiga persoalan itu, tentu saja menjadi "ladang pembacaan" atas bagaimana kontribusi Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, mampu memberikan warna sekaligus mendorong laju proses demokratisasi di era kemerdekaan Indonesia saat itu.
Salah satu persoalan urgen untuk dihadapi pemerintahan baru dalam mewujudkan sistem politik masyarakat yang demokratis, adalah menata hubungan agama, masyarakat sipil, dan negara. Format relasi agama, masyarakat sipil, dan negara terutama di masa transisi, akan sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan dalam membangun dan menata sistem demokrasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), disebutkan bahwa demokrasi berarti: 1). bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintah rakyat, 2). Gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga Negara (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, cet. III, Jakarta; Balai Pustaka, 1994; 220). (Triana Rosantini, "Demokrasi" dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1989; 293-294).

Di samping definisi di atas, demokrasi juga dapat diartikan sebagai proses pemerintahan yang bermanfaat bagi rakyat, meskipun rakyat tidak ikut dalam pemerintahan (Moh. Mahfud MD, "Konfigurasi Politik dan Hukum Pada Era Orde Lama dan Orde Baru,” dalam M. AS. Hikam dkk., Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999; 20). Dalam konteks negara liberal-kapitalis, misalkan, demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan yang diselenggarakan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Karena itu, demokrasi adalah hasil kreasi manusia. Artinya, dalam perumusan demokrasi tidak ada campur tangan Tuhan. Itulah mengapa, demokrasi dianggap sebagai kesepakatan di antara orang-orang dalam suatu kawasan dan juga disepakati untuk dilaksanakan sebagai ideologi mereka. Jika demikian halnya, maka demokrasi adalah ideologi. Adapun ideologi, menurut Kuntowijoyo, sangat bersifat subyektif-normatif-tertutup (Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung; Mizan, 1999; 22).
Karena itu, setiap demokrasi (The Encyclopedia Americana,1980), pasti akan dianggap sangat subyektif, cenderung normatif dan tertutup dengan sistem demokrasi lain (Sidney Hook, “Democracy”, dalam The Encyclopedia Americana, Connecticut: Grolier Incorporated, 1980; 690., Baca juga, John L. Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, Bandung; Mizan, 1999). Efek dari hal itu pada gilirannya akan menolak rumusan demokrasi dalam Islam, karena agama tidak dilibatkan sama sekali dalam merumuskan demokrasi.
Meskipun demikian, model demokrasi yang diakui secara resmi di dunia Barat –dewas

Karena itu menurut saya, setidaknya ada dua hal yang menyebabkan wacana demokrasi terus berkembang di dunia Islam. Pertama, pengaruh hubungan Islam dengan Barat, dan Kedua, reaksi intelektual Muslim dengan konsep demokrasi yang ternyata ditemukan dalam ajaran Islam. Hal kedua yang terakhir, sebagaimana ungkapan tokoh politik Islam Indonesia, Mohammad Natsir, mengatakan, bahwa demokrasi Islam merupakan bentuk rumusan mengenai kebijaksanaan politik, ekonomi, hukum dan lain-lainnya yang mengacu pada asas-asas penetapan al-Qur’an dan Sunah Nabi (Yusril Ihza Mahendra, “Modernismne Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Mohammad Natsir”, Islamika, No. 3. Januari-Maret, 1994; 70).
Itulah mengapa kemudian Natsir menamakan demokrasi Islam dengan sebutan "theistic democracy", yaitu demokrasi yang berlandaskan kepada nilai-nilai ketuhanan (Mohammad Natsir, Capita Selecta, Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Baca juga Ahmad Suheimi, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, Darul Falah, 1999. Bandingkan dengan Delier Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cet. VIII, Jakarta: LP3ES, 1996; 308-315).
Tokoh yang hampir mirip dengan Natsir, menurut pembacaan saya, adalah Abu al-A’la al-Maududi, politikus Muslim dari Pakistan, yang memperkenalkan model demokrasi yang diberi nama "Teo Demokrasi" (Seyyed Vali Reza Nasr, “Maududi dan Jama’at Islami: Asal Usul, Teori dan Praktek Kebangkitan”, dalam Ali Rahmena (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1996; 101-125. Konsep demokrasi Maududi tersebut ternyata kemudian diperjelas oleh Yusril, bahwa demokrasi model Maududi itu tiada lain adalah “a divine democratic government”, pemerintah yang berdasarkan ketuhanan (Baca; Yusril Ihza Mahendra, 1994; 246).
Selain yang diuraikan di atas, model demokrasi yang ada, juga diperankan oleh umat Islam Indonesia baik modernis maupun tradisionalis dewasa ini. Jika demikian, wajar saja apabila sebagian pandangan umat Islam Indonesia mengatakan bahwa demokrasi merupakan mekanisme politik yang terbaik saat ini untuk diterapkan (Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan dalam Masalah Konstituante,

Hal itu bisa terlihat salah satunya dalam tujuan sistem demokrasi. Yaitu, menurut Nurcholis Madjid, hadirnya kemashlahatan bersama sebagaimana yang di cita-citakan siyasah ash-shar’iyyah (Nurcholis Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta; Paramadina, 1999).
Tentunya, apa yang disinyalir oleh Cak Nur mengenai cita-cita politik Islam di era kemerdekaan, mendorong Kuntowijoyo untuk menawarkan kaidah-kaidah demokrasi yang diusung oleh Islam. Kaidah tersebut di antaranya; saling mengenal (ta’aruf), musyawarah (syura), kerja sama (ta’awun), menguntungkan masyarakat (maslahah), adil (‘adl), dan perubahan atau reformasi (taghyir / ishlah) (Baca; Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung; Mizan, 1999; 91-105.).
Kaedah yang demikian ini, ternyata disinyalir merupakan bentuk eksistensi dari kontribusi Islam itu sendiri terhadap penegakan demokrasi untuk menciptakan kemaslahatan bersama bagi semua mahluk hidup (Baca; Said Aqiel Siradj, “Demokrasi di Indonesia dalam Pandangan Partai-Partai” dalam buku Islam Kebangsaan; Fiqih Demokratik Kaum Santri. Jakarta; Pustaka Jiganjur, 1999; 126-129).
(TULISAN BERSAMBUNG II ;…).
Penulis, adalah Pengamat Sosial, Agama dan Budaya. Saat ini aktif di Kangmus Center, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar